Belum tuntas kasus mega korupsi yang ditangani KPK seperti kasus korupsi Simulator yang melibatkan perwira Irjen Djoko Susilo dan kasus-kasus lainnya seperti korupsi Wisma Atlet dan Hambalang, publik kembali dikejutkan dengan kasus besar yang dibongkar KPK dengan tertangkapnya Akil Mochtar yang baru beberapa bulan ditetapkan sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi. Dalam operasi tangkap tangan tersebut, KPK berhasil menyita sejumlah uang yang diterima Akil Mochtar senilai 22.000 Dolar Singgapura yang nilainya setara dengan 3 Miliar (KPK Tangkap Ketua MK, Kompas 3 Oktober 2013, hal 1). Kita menunggu hasil persidangan untuk membuktikan apakah Ketua Mahkamah Konstitusi terbukti melakukan pelanggaran hukum.
Peristiwa penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dapat dimaknai dari tiga perspektif yaitu Hukum, Sosiologis, Teologis. Dari perspektif hukum, penangkapan Akil Mochtar menunjukkan paradox hukum. Pertama, delegitimasi MK sebagai lembaga yang memberi keputusan final terhadap sengketa-sengketa hukum lembaga negara. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Adnan Pandu Praja mengatakan bahwa tindakan Akil Mochtar telah merobohkan pilar konstitusi dengan tindakan korupsi yang dilakukannya (Pilar Konstitusi Roboh, Kompas 4 Oktober 2013). Kepercayaan masyarakat terhadap validitas Mahkamah Konstitusi yang semula meningkat melalui dua mantan pimpinannya yaitu Jimly Ashidique dan Mahfud M.D. saat ini mengalami delegitimasi kepercayaan. Tidak Heran jika Mahfud M.D. mengatakan, MK saat ini mengalami gempa bumi dan kehancuran (KPK Tangkap Ketua MK, Kebumen Ekspres 3 Oktober hal 7) . Kedua, upaya masyarakat untuk meraih kembali kewibawaan hukum melalui kerja keras KPK. Notabene saat ini lembaga yang paling dipercaya adalah KPK setelah semua istitusi kenegaraan lainnya terjerat gurita korupsi. Bahkan kepolisian dan kehakiman pun tidak luput dari gurita korupsi. Belum lama ini laporan yang mengatakan bahwa DPR adalah lembaga terkorup pun semakin mengecilkan kepercayaan masyarakat akan tegaknya hukum di republik ini. Inilah paradox yang saat ini terjadi di depan mata kita: Semakin menurunnya kepercayaan publik terhadap kredibilitas lembaga hukum namun sekaligus harapan untuk menegakkan kewibawaan hukum.
Dari perspektif sosiologis, perubahan sosial yang terjadi sejak Orde Reformasi tidak berbanding lurus dengan kesiapan pemerintah dan masyarakat dalam mengantisipasi berbagai perubahan sosial. Ketidaksiapan ini menimbulkan keterkejutan budaya atau gegar budaya (culture shock). Terjadilah benturan-benturan antara nilai-nilai lama dengan perubahan sosial yang begitu cepat. Ketika masyarakat tidak mendapatkan jalan keluar dengan nilai-nilai lama yang dia yakini selama ini, maka mereka akan melakukan tindakan-tindakan yang anomali dan irasional atau perilaku menyimpang sebagai sebuah solusi. Apa yang kita alami akhir-akhir ini mendekati apa yang diistilahkan Durkheim sebagai Anomie atau situasi tanpa aturan yang jelas. Emile Durkheim menjelaskan sebuah situasi yang disebut Anomie yang mengacu pada situasi tanpa norma dan arah dikarenakan adanya ketidakselarasan antara harapan kultural dengan kenyataan sosial. Saat terjadi perubahan sosial masyarakat tidak merasa yakin dengan melakukan nilai dan norma yang lama. Sementara Robert Merton mengatakan bahwaAnomie muncul dikarenakan rasa frustasi pada individu dikarenakan mereka tidak bisa mendapatkan apa yang mereka ingin secara legal. Karena tidak ada kesempatan untuk melakukan hal tersebut maka individu melakukan tindakan menyimpang. Desakan kebutuhan ekonomi yang semakin besar mendorong sejumlah orang baik mereka yang memiliki status sosial di bawah rata-rata atau bahkan di atas rata-rata, cenderung untuk melakukan adaptasi. Bentuk adaptasi itu melalui cara yang menyimpang atau melanggar hukum. Situasi ini dimungkinkan terjadi karena nilai dan norma hukum tidak lagi memiliki kewibawaan baik di mata penegak hukum maupun masyarakat. Inilah situasi Anomie itu.
Dari perspektif teologis, apa yang terjadi pada Akil Mochtar dan sejumlah pejabat publik lainnya yang tersandung korupsi bahkan mega korupsi menunjukkan bahwa tahapan kesadaran religius seseorang baru memasuki tahapan formalitas agama. Pemahaman religius baru sekedar mengetahui tentang adanya Tuhan dan hukum-hukumnya dan belum sampai pada tahapan hukum-hukum Tuhan mengubah dan mengontrol perilaku sosial penganutnya.
Perspektif Kristiani memberikan gambaran bentuk-bentuk ibadah formal namun tidak menyentuh yang esensial terbaca sabda Tuhan sbb:“Dan Adonay (אדני:Tuan) telah berfirman: "Oleh karena bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya menjauh dari pada-Ku, dan ibadahnya kepada-Ku hanyalah perintah manusia yang dihafalkan”(Yes 29:13)
Hosea 6:3 memberikan petunjuk terarah agar orang yang beriman memiliki pergaulan dan pengenalan pribadi terhadap Tuhan dan perintah-perintah-Nya sbb: “We neda’ah nirdefah la da’at et YHWH, keskhar nakon motsao, wayavo kageshem lanu kemalqosh yore arets” (Marilah kita mengenal dan berusaha sungguh-sungguh mengenal YHWH; Ia pasti muncul seperti fajar, Ia akan datang kepada kita seperti hujan, seperti hujan pada akhir musim yang mengairi bumi).
Pengenalan pribadi terhadap Tuhan bukanlah sebuah penanamam pengetahuan tentang Tuhan secara mekanis dan robotik. Pengenalan terhadap Tuhan bukanlah sebuah indoktrinasi kaku. Pengenalan pribadi terhadap Tuhan bukan sekedar pelaksanaan syariat dan hukum-hukum Tuhan secara ketat. Pengenalan pribadi terhadap Tuhan merupakan sebuah hubungan yang dekat dan karib dengan Tuhan. Kata Ibrani “Yada” yang kerap diterjemahkan dengan “Mengenal” sebenarnya mengandung makna “Keintiman”. Kejadian 4:1 mengatakan, “We ha Adam yad’a Khawah ishtto watahar wateled et Qayin...” (Kemudian manusia itu bersetubuh dengan Hawa, isterinya, dan mengandunglah perempuan itu, lalu melahirkan Kain;...). Kata “bersetubuh” dipergunakan kata Ibrani “Yada”. Berarti kata “Yada” bermakna sebuah “Keintiman”.
Ketika kata “Yada” dihubungkan kepada hubungan manusia dengan Tuhan, bermakna kita memiliki sebuah pengertian yang mendalam tentang Tuhan dan kehendak-Nya atas kehidupan kita. Kita mengetahui apa yang Tuhan sukai dan tidak sukai untuk kita lakukan. Kita jangan hanya membangun hubungan, relasi, pergaulan dengan sesama manusia saja melainkan kita harus membangun hubungan, relasi, pergaulan. Kita jangan hanya “srawung” (bhs Jawa: berinteraksi) dengan manusia dari segala lapisan namun kehilangan “pasrawungan” dengan Tuhan pemilik kehidupan.
Apa yang terjadi jika orang beriman tidak mengenal Tuhan-Nya? Hosea 4:6 mengatakan sbb: “Umat-Ku binasa karena tidak mengenal Tuhan; karena engkaulah yang menolak pengenalan itu maka Aku menolak engkau menjadi imam-Ku; dan karena engkau melupakan pengajaran Tuhanmu, maka Aku juga akan melupakan anak-anakmu” Apakah bentuk nyata kebinasaan akibat tidak memiliki hubungan pribadi dengan Tuhan? Hosea 4:12-13 mengatakan demikian: “Umat-Ku bertanya kepada pohonnya, dan tongkatnya akan memberitahu kepadanya, sebab roh perzinahan menyesatkan mereka, dan mereka berzinah meninggalkan Tuhan mereka.Mereka mempersembahkan korban di puncak gunung-gunung dan membakar korban di atas bukit-bukit, di bawah pohon besar dan pohon hawar dan pohon rimbun, sebab naungannya baik. Itulah sebabnya anak-anakmu perempuan berzinah dan menantu-menantumu perempuan bersundal”. Dalam konteks Israel kuno, kebinasaan dihubungkan dengan kemerosotan Bangsa Israel yang mengalami kejatuhan dalam dosa politeisme dan penyembahan berhala. Sementara dalam konteks modern kita akan mengalami hilangnya orientasi terhadap mana yang benar dan mana yang keliru. Kita kehilangan orientasi mengenai mana yang baik dan mana yang buruk. Kita semakin tidak memiliki rasa takut dan malu melakukan pekerjaan yang mendatangkan hukuman baik hukuman sosial maupun hukuman formal.
Terkait persoalan suap, korupsi dan ketidakjujuran penegak hukum dan sistem peradilan, bagaimana perspektif Kristiani menilai? Torah YHWH tidak hanya mengatur soal ibadah formal umat Tuhan kepada Tuhannya. Torah YHWH tidak hanya mengatur persoalan korban bakaran. Torah YHWH pun mengatur persoalan ekonomi dan hukum serta keadilan sosial. Bahkan Torah YHWH mengatur mengenai peradilan yang adil.
Kitab Imamat 19:15 mengatakan, “Janganlah kamu berbuat curang dalam peradilan; janganlah engkau membela orang kecil dengan tidak sewajarnya dan janganlah engkau terpengaruh oleh orang-orang besar, tetapi engkau harus mengadili orang sesamamu dengan kebenaran”. Perhatikan frasa Ibrani, “Lo taasyu awel bemishpat” yang diterjemahkan oleh LAI sbb:, “Janganlah kamu berbuat curang dalam peradilan”. Bisa juga diterjemahkan, “Janganlah kamu melakukan ketidakadilan dalam peradilan”. Bandingkan dengan pembacaan Mazmur 82:2 dan Zefanya 3:5 dimana kata עול (Awel) muncul dan konteksnya berbicara perihal “kedilan” dan “ketidakadilan”. Persoalan suap menyuap dan menyiasati keputusan hakim sudah menjadi persoalan klasik beribu tahun lampau sebelum manusia modern mengenal Demokrasi dan Konstitusi. Torah YHWH telah mengantisipasi persoalan tersebut. Apakah sajakah yang dapat dikategorikan tindakan “Awel” dalam sistem peradilan? Bentuk-bentuk tindakan yang dikategorikan dengan “Awel” adalah menyuap atau menyogok. Kitab Keluaran 23:8 mengatakan, “Suap janganlah kauterima (ושׁחד לא תקח wesokhad lo tiqqakh), sebab suap membuat buta mata orang-orang yang melihat dan memutarbalikkan perkara orang-orang yang benar”. Ulangan 16:19 mengatakan, “Janganlah memutarbalikkan keadilan, janganlah memandang bulu dan janganlah menerima suap, sebab suap membuat buta mata orang-orang bijaksana dan memutarbalikkan perkataan orang-orang yang benar”
Ayat ini terbukti kebenarannya. Uang suap (sokhad) telah, “membutakan mata orang bijaksana”. Bukankah mereka yang tersandung kasus hukum adalah orang-orang yang terpelajar, memiliki gelar akademik yang tinggi serta memiliki gaji bulanan yang besar? Namun apa yang terjadi pada mereka? Mereka menjadi pusat perhatian orang banyak. Bukan karena prestasi mereka melainkan karena perilaku mereka yang melanggar hukum dan mempermalukan keluarga dan institusi. Uang suap telah membutakan para penegak hukum untuk menjaga kewibawaan hukum. Uang suap (sokhad) telah, “memutabalikkan perkataan orang-orang benar”. Orang-orang yang memberikan uang suap kepada hakim dapat membalikkan kasus dan kedudukan hukum seseorang yang semula menang dan dinyatakan tidak bersalah bisa diubah menjadi kalah atau bersalah, bahkan sebelum sidang pengadilan diputuskan.
Ditengah kondisi hukum yang tersandera dan terjerat gurita korupsi, peran para hakim yang berlatar belakang Kristiani untuk menegakkan amanah konstitusi dengan belajar dan berefleksi dari Kitab Suci mengenai kebenaran hakiki untuk menjauhi perilaku menerima uang suap dan bertindak korupsi. Para rohaniawan Kristen tidak hanya membuai jemaat dengan kotbah-kotbah mengenai hidup sorgawi dan berkanjang dengan teologi-teologi yang menuhankan materi sebagai bentuk kehendak Ilahi. Kotbah-kotbah Kristiani harus memberikan solusi berarti bagi negeri yang dijerat gurita korupsi di segala lini. Bukankah doa yang diajarkan Yesus mengatakan, “Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu, di bumi seperti di sorga?”(Mat 6:9-10). Kata “Kerajaan” dalam naskah Yunani disebut “Basilea” dalam terjemahan bahasa Ibrani “Malkut”. Dalam Kitab Perjanjian Baru, kata “Kerajaan” atau “Kerajaan Tuhan” serta “Kerajaan Sorga” memiliki makna beragam yaitu:
- Tempat/Wilayah yang bersifat metafisik (1 Kor 15:50, Gal 5:21)
- Ajaran, Prinsip (Rm 14:17, 1 Kor 4:20)
- Berita mengenai kehidupan dan karya Yesus Sang Mesias (Kis 19:8)
- Kehendak Tuhan yang harus ditemukan (Mat 6:33)
- Upah dalam kekekalan (Mat 25:34)
- Kondisi dimana ada pengaruh sorgawi (Kol 1:13)
- Kerajaan Milenium dimana Mesias memerintah (Why 20:1-7)
Dalam ayat ini, makna “datanglah Kerajaan-Mu” dapat ditemukan dalam kalimat berikutnya, “jadilah kehendak-Mu”. Struktur kalimat ini mencerminkan pola puisi bercorak Semitik-Hebraik, sekalipun dibungkus dengan bahasa Yunani. Corak puisi dalam doa ini adalah paralelisme sinonim dimana kalimat kedua menjelaskan kalimat pertama (Band. Ayub 4:9). Dan pengejawantahan kehendak Tuhan harus selaras antara bumi dan surga sebagaimana dikatakan “sebagaimana di bumi seperti di sorga”.
Seorang hakim Kristiani yang konsisten menegakkan konstitusi, maka dia telah menghadirkan Kerajaan Tuhan dalam sistem peradilan. Seorang rohaniwan yang mengotbahkan dan memotivasi jemaat untuk peduli konstitusi dan menjauhi sikap manipulasi dan korupsi, maka dia telah menghadirkan Kerajaan Tuhan dalam kehidupan jemaat. Jemaat Tuhan yang bekerja di berbagai instansi dan menjauhi sikap korupsi, maka dia telah menghadirkan Kerajaan Ilahi dalam lingkungan bekerjanya.
Kita tidak boleh menyerah untuk membangun masyarakat Demokrasi yang bersih dari korupsi. Kita tidak mungkin memberantas habis korupsi namun setidaknya meminimalisir kecenderungan dan peluang untuk melakukan tindakan tidak terpuji ini. Mari, kita bersama menjadi bagian dari solusi dan turut menjaga serta menegakkan pilar-pilar konstitusi yang yang roboh dan terdelegitimasi oleh gurita korupsi dengan membangun kesadaran bersama untuk menjauhi sikap-sikap manipulasi dan korupsi sejak dini.
No comments:
Post a Comment