Wednesday, June 14, 2017

KONSEP "KENOSIS" SEBAGAI TELADAN KERENDAHAN HATI YESUS



Menarik membaca narasi Filipi 2:1-11 khususnya Filipi 2:5-7 yang kerap dihubungkan dengan sebuah konsep dalam Teologia yaitu doktrin Kenosis atau pengosongan diri Yesus. Teori Kenosis ini baru mendapat ekspresi teologisnya melalui tulisan dari Sartorius, pada tabun 1831. Penjelasan sistematis dan teologis dari Teori Kenosis ini baru muncul pada tahun 1845 dalam artikel-artikel yang ditulis oleh Gottfried Thomasius (1802-1875). Pandangan lengkap Thomasius dapat dibaca dalam dua jilid pertama bukunya, Christ's Person and Work: A Presentation of Evangelical Lutheran Dogmatics from the Central Point of Christology (Hendra G. Mulia,             Sejarah dan Tinjauan Kritis Terhadap Teori Kenosis, dalam Jurnal Pelita Zaman, Vol 7 No. 1 Tahun 1992). Persoalan kenosis Yesus telah menjadi wilayah perdebatan panjang para teolog dari berbagai mazhab yang dituangkan dalam banyak buku dan jurnal teologia.

Konsep kenosis bermula dari pernyataan dalam Filipi 2:7 yaitu, “yang walaupun dalam rupa Tuhan, tidak menganggap kesetaraan dengan Tuhan itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia”. Frasa “melainkan telah mengosongkan diri-Nya dalam teks Yunani, “alla heauton ekenoosen”. Ada banyak interpretasi terkait makna dan implikasi kata kenosis (pengosongan) yang dihubungkan dengan diri Yesus. Donald Guthrie mengelompokkan dalam tiga kelompok interpretasi. Pertama, mereka yang menganggap bahwa Yesus benar-benar menanggalkan ketuhanan-Nya sehinga belia sepenuhnya manusia biasa. Kedua, mereka yang menafsirkan bahwa pengosongan bermakna penundaan status “setara dengan Tuhan” yang hanya berlaku selama wujud kemanusiaan sebelum Yesus kembali ke sorga. Ketiga, mereka yang menafsirkan sebagai bentuk penghapusan diri dari sifat yang diperlawankan yaitu peninggian diri (Teologi Perjanjian Baru I, 1992:395).

Sebelum kita memahami makna kenosis bagi Yesus sebaiknya kita menganalisis sejumlah kata atau istilah-istilah sebelum dan sesudahnya dalam teks Filipi 2:6-7 yaitu, morphe Theou (rupa Tuhan), isa Theoi (setara dengan Tuhan), morphe doulou (rupa hamba), homoiomati anthropon (sama seperti manusia). Dengan meletakkan semua hubungan kata dan kalimat serta istilah-istilah tersebut, sekiranya kita dapat menafsirkan makna kenosis dengan cara yang masuk akal dan tidak bertabrakkan dengan teks-teks lain dalam Kitab Perjanjian Baru perihal status keilahian dan kemanusiaan Yesus. 

Berbicara perihal teks-teks lain dalam Kitab Perjanjian Baru khususnya Yohanes 1:1,14 kita telah mendapatkan pemahaman yang tegas bahwa hakikat Yesus adalah Sang Firman yang setara dan sehakikat serta melekat dengan Tuhan yang diekspresikkan dengan kalimat, “Firman itu bersama dengan Tuhan”. Pernyataan ini menunjukkan bahwa Sang Firman bisa dibedakan dengan Tuhan dan Sang Firman ada dalam Tuhan. Namun serentak Sang Firman yang bisa dibedakkan ini tidak berdiri sendiri di luar Tuhan dan tidak dapat dipisahkan karena Sang Firman ada dalam wujud Tuhan. Oleh karenanya dikatakan, “Firman itu adalah Tuhan”. Maksud kalimat ini bermakna bahwa Sang Firman bukan ciptaan melainkan bagian dalam diri Tuhan dan memiliki sifat Ketuhanan. Dari perspektif inilah kita dapat memahami istilah morphe Theou (rupa Tuhan), isa Theoi (setara dengan Tuhan) bukan bermakna Yesus adalah Sang Tuhan (Elohim/Theos/God) melainkan Sang Firman Tuhan yang setara dan sehakikat serta melekat dengan Tuhan karena memiliki sifat Ketuhanan.

Jika Yohanes 1:1 mendeskripsikan sifat dan hakikat pra Ada Yesus sebagai Sang Firman yang setara, sederajat, melekat dalam Tuhan maka Yohanes 1:14 berbicara perihal Sang Firman yang menjadi manusia yang dalam bahasa teologia diistilahkan Inkarnasi. Kata Inkarnasi dari bahasa Ingris Incarnation dari kata Latin dalam Kitab Vulgata saat menerjemahkan frasa Yunani en sarki (menjadi daging/manusia) dengan in carne (menjadi daging/manusia) dalam 1 Timotius 3:16, Dan sesungguhnya agunglah rahasia ibadah kita: Dia, yang telah menyatakan diri-Nya dalam rupa manusia, dibenarkan dalam Roh; yang menampakkan diri-Nya kepada malaikat-malaikat, diberitakan di antara bangsa-bangsa yang tidak mengenal Tuhan; yang dipercayai di dalam dunia, diangkat dalam kemuliaan”. Jika kita membaca seksama deskripsi Yohanes 1:14, Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran”, dapatlah kita simpulkan bahwa yang menjadi manusia (inkarnasi) adalah Sang Firman yang setara dan sehakikat dengan Tuhan dan bukan Tuhan itu sendiri. Dan fakta ini dipertegas dalam Yohanes 1:18 bahwa Sang Firman yang menjadi manusia itu disebut dengan Anak Tunggal Tuhan (sebagaimana sebelumnya dikatakan dalam Yohanes 1:14), “Tidak seorang pun yang pernah melihat Tuhan; tetapi Anak Tunggal Tuhan, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya”.

Pemahaman siapa yang berinkarnasi atau menjadi manusia ini diperlukan agar tidak menimbulkan kekacauan pemahaman dalam Ketuhanan. Dengan pemahaman bahwa yang berinkarnasi adalah Sang Firman maka kita dapat menjelaskan secara logis saat Yesus berdoa di taman Getsemani (Luk 22:41-46), bermakna Sang Firman yang menjadi manusia berdoa kepada Sang Bapa yaitu Tuhan yang dalam TaNaKh bernama YHWH (Kel 3:15, Yes 64:8). Seandainya yang menjadi manusia adalah Tuhan Sang bapa itu sendiri, maka akan ada kekacauan teologis bahwa Tuhan berdoa pada Tuhan dan Sang Bapa berdoa pada Sang Bapa. Demikian pula dengan kasus seruan Yesus menjelang ajalnya, Eli-Eli lama sabakhtani? (Tuhanku, Tuhanku, mengapa Engkau meninggalkan Aku – Mat 27:46) hanya dapat dijelaskan secara logis bahwa yang berseru adalah Sang Firman yang telah menjadi manusia Yesus kepada Tuhan-Nya, Bapa-Nya. Pemahaman perihal siapa yang berinkarnasi pun akan mempermudah penjelasan perihal kalimat, “Itulah sebabnya Tuhan sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama” (Fil 2:7). Bagaimana mungkin Yesus ditinggikan Tuhan jika Dia adalah Tuhan yang menjadi manusia? Yang lebih logis adalah karena Yesus adalah Sang Firman Tuhan yang menjadi manusia maka Tuhanlah yaitu YHWH Sang Bapa yang meninggikan Yesus.

Penegasan bahwa Yesus adalah Sang Firman yang menjadi manusia dikatakan oleh Yohanes sbb, “Lalu aku melihat sorga terbuka: sesungguhnya, ada seekor kuda putih; dan Ia yang menungganginya bernama: "Yang Setia dan Yang Benar", Ia menghakimi dan berperang dengan adil. Dan mata-Nya bagaikan nyala api dan di atas kepala-Nya terdapat banyak mahkota dan pada-Nya ada tertulis suatu nama yang tidak diketahui seorang pun, kecuali Ia sendiri. Dan Ia memakai jubah yang telah dicelup dalam darah dan nama-Nya ialah: "Firman Tuhan." Dan semua pasukan yang di sorga mengikuti Dia; mereka menunggang kuda putih dan memakai lenan halus yang putih bersih. Dan dari mulut-Nya keluarlah sebilah pedang tajam yang akan memukul segala bangsa. Dan Ia akan menggembalakan mereka dengan gada besi dan Ia akan memeras anggur dalam kilangan anggur, yaitu kegeraman murka Tuhan, Yang Mahakuasa. Dan pada jubah-Nya dan paha-Nya tertulis suatu nama, yaitu: "Raja segala raja dan Tuan di atas segala tuan(Why 19:11-16). Di bagian lain dari Kitab Perjanjian Baru dikatakan, “Apa yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan dan yang telah kami raba dengan tangan kami tentang Firman hidup -- itulah yang kami tuliskan kepada kamu” (1 Yoh 1:1).

Dari perspektif Yohanes 1:1-18 dan 1 Yohanes 1:1 serta Wahyu 19:13, dapatlah kita sekarang memutuskan makna kenosis (pengosongan diri) Yesus bukan diartikan secara materialistik sebagai penghilangan sifat keilahian Sang Firman sehingga saat menjadi manusia Yesus, tidak memiliki sifat keilahian sama sekali. Baik sifat keilahian dan kemanusiaan berada dalam diri Yesus tanpa percampuran dan tanpa perubahan sebagaimana kredo Konsili Kalsedon (451 Ms). Kenosis yang dihubungkan dengan diri Yesus lebih menunjukkan sebuah proses transisi yang dbahasakan oleh Yohanes “Sang Firman menjadi manusia” namun oleh Rasul Paul diistilahkan “mengosongkan diri-Nya” dari kondisi dan status morphe Theou (rupa Tuhan) dan isa Theoi (setara dengan Tuhan) menjadi morphe doulou (rupa hamba) dan homoiomati anthropon (sama seperti manusia). Dengan kata lain, Yohanes menggunakan deskripsi “Sang Firman yang menjadi manusia”, sementara Rasul Paul menggunakan istilah “pengosongan diri”.

Di atas semua penjelasan di atas, konsep kenosis yang dihubungkan dengan diri Yesus oleh Rasul Paul dipergunakan sebagai analogi dan jembatan pemahaman perihal konsep kerendahan hati Yesus yang seharusnya menjadi teladan para murid dan orang berimana sebagaimana dikatakan, “..dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga. Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Mesias Yesus” (Fil 2:3-5). Dengan kata lain, Rasul membangun konsep Etika Kristen perihal kerendahan hati dengan membuat analogi kenosis Yesus.

Sang Firman yang telah menjadi manusia dan telah mengosongkan diri-Nya menjadi sama dengan manusia mengandung pelajaran yang mendalam perihal kerendahan hati. Kerendahan hati tidak dapat dimiliki dan diperoleh melalui kegiatan akademik. Kerendahan hati adalah sebuah transformasi spiritual dalam pikiran dan batin manusia dikarenakan orang beriman, “menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Mesias Yesus. Dengan manunggal-Nya Yesus dalam diri orang beriman maka pikiran dan perasaan Yesus manunggal dalam diri kita sebagaimana dikatakan, namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Tuhan yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku” (Gal 2:20).

No comments:

Post a Comment