Perhatian dunia sedang
mengarah pada negara Selandia Baru atas teror penembakan yang menyerang Masjid
Al Noor dan Masjid Linwood di pusat kota Christchurch. Kejadian memilukan
terjadi di kota Christchurch, Selandia Baru pada hari ini, Jumat (15/3/2019)
dengan menewaskan 49 orang.
Dugaan sementara serangan aksi teror itu dilakukan
oleh ekstrimis sayap kanan kepada kaum muslim di Christchurch. Empat pelaku
yang terdiri dari 3 pria dan satu wanita berhasil diamankan. Sementara itu satu
pelaku pria telah ditetapkan menjadi tersangka. Perdana Menteri Australia Scott
Morrison mengonfirmasi pelaku yang ditangkap adalah seorang pria berumur 28
tahun bernama Brenton Tarrant asal Grafton, Australia.
Branton Tarrant
mengklaim sebagai teroris yang bertanggung jawab atas serangan tersebut.
Melalui manifesto berjudul The Great
Replacement yang dia buat sendiri, terungkap Tarrant sudah merencanakan
aksi kejinya itu. Pelaku serangan teror asal Grafton Australia itu sudah
berencana untuk melakukan penembakan massal selama dua tahun terakhir.
Dari 73
lembar halaman manifesto itu, ada tiga alasan yang mendasari tindakkan Tarrant
yaitu: (1) Penolakkan terhadap imigran asing, "...untuk mengurangi tingkat imigrasi ke tanah-tanah Eropa secara
langsung" (2) Penegasan Supremasi Kulit Putih, "untuk menunjukkan ke para penyusup bahwa tanah kita tidak akan
pernah menjadi tanah mereka, tanah air kita adalah milik kita sendiri
dan--selama orang kulit putih masih hidup--mereka tidak akan pernah menaklukkan
tanah kita..." (3) Balas dendam atas kematian Ebba Akerlund, bocah
berusia 11 tahun yang terbunuh dalam serangan teror 2017 di Stockholm.
Peristiwa yang terjadi di Christchurch, Selandia Baru tentu saja tidak bisa diekslusifkan
sebagai sebuah peristiwa yang berdiri sendiri dan tiba-tiba. Peristiwa ini
tidak dapat dilepaskan dengan reaksi terhadap ektrimisme yang dilakukan oleh
kelompok-kelompok seperti ISIS yang melanda Eropa dan Amerika. Yang dikuatirkan adalah berbagai kemungkinan aksi saling balas dari kubu yang berbeda akan terjadi di
beberapa wilayah negara.
Politik Identitas dan Populisme semakin menjadi kecenderungan yang mendirigenisasi di berbagai wilayah dunia. Kemenangan Donald Trump di Pilpres AS, dan keinginan kelompok yang ingin Inggris keluar dari Uni Eropa (Brexit) di referendum Inggris merepresentasikan fenomena menguatnya populisme di negara-negara demokrasi Barat. Tren serupa juga menguat di Asia; Narendra Modi dan BJP di India serta Rodrigo Duterte di Filipina adalah dua contoh terakhir. Menguatnya dukungan pada kelompok Islam konservatif di Indonesia memiliki banyak karakteristik serupa dengan tren populisme global. Aksi vigilante (main hakim sendiri) oleh kelompok-kelompok seperti FPI atau Aksi Bela Islam (2016) menguatkan trend populisme. Demikian pula dengan visi sejumlah Capres di Indonesia menggemakan semangat populisme.Populisme dapat diartikan sebagai “Suatu bentuk khas retorika politik, yang menganggap keutamaan dan keabsahan politik terletak pada rakyat, memandang kelompok elit yang dominan sebagai korup, dan bahwa sasaran-sasaran politik akan dicapai paling baik melalui cara hubungan langsung antara pemerintah dan rakyat, tanpa perantaraan lembaga-lembaga politik yang ada” (Abercrombie et. al., 1998)
Kita tinggalkan perihal istilah Populisme. Kembali kepada tindakkan ekstrimisme. Tidak pandang agama manapun, ekstrimisme, radikalisme,
kekerasan dapat melekati semua kelompok agama.
Bukankah rasul Paul dahulunya
adalah “penganiaya jemaat”, padahal beliau adalah pelaku Torah yang tidak
bercaca, "disunat pada hari kedelapan, dari bangsa Israel, dari suku Benyamin, orang Ibrani asli, tentang pendirian terhadap hukum Taurat aku orang Farisi" (Fil 3:6). Waspadailah sikap-sikap ekstrimisme dalam beragama, karena
sikap ekstrim justru lahir dari sikap yang tidak jauh dari kesalehan, namun
tanpa pengenalan yang benar, "Sebab aku dapat memberi kesaksian tentang mereka, bahwa mereka sungguh-sungguh giat untuk Tuhan, tetapi tanpa pengertian yang benar" (Rm 10:2)
No comments:
Post a Comment