Thursday, November 14, 2019

MEMIKUL KUK DAN KEDEWASAAN ROHANI



Saat pertama kali meninggalkan Bandung untuk studi Teologi di Yogyakarta. Banyak pengalaman baru yanag tidak didapat di kota sebelumnya. Salah satunya adalah saat tinggal di kost. 

Selama tinggal di Bandung, terbiasa menggunakan air PAM yang tidak harus menggunakan tenaga untuk mendapatkanya alias tidak harus menimba. Walaupun bukan sama sekali tidak pernah mendapatkan pengalaman menimba di Bandung namun sejak  kost dan studi di Yogyakarta, kegiatan menimba air untuk mengisi bak mandi menjadi kegiatan rutin harian. 

Kegiatan tersebut secara tidak langsung membentuk otot-otot di tangan menjadi lebih lebar dan besar, sekalipun tidak terlihat kekar. Setidaknya, tubuh yang kurus dan tangan yang lurus agak terlihat berisi. Jika tidak studi dan kost di Yogyakarta, mungkin tangan saya akan tetap kurus dan lurus tidak berisi. Situasi hidup yang baru dan tekanan yang datang sesungguhnya menjadikan bukan hanya tubuh melainkan pikiran beradaptasi dan berkembang. 

Orang yang tidak pernah berani menghadapi sejumlah risiko dan selalu menghindari lingkungan baru yang penuh tantangan, akan sulit berkembang wawasan dan pengalamannya. Kehidupannya hanya stagnan. Semakin banyak kita menghadapi tekanan, kesulitan, pengalaman baru, tantangan, otak kita menjadi berkembang mencari solusi. 

Tubuh kita beradaptasi untuk mengikuti ritme kehidupan yang fluktuatif. Seperti dikatakan Firman Tuhan, “Adalah baik bagi seorang pria memikul kuk pada masa mudanya. Biarlah ia duduk sendirian dan berdiam diri kalau Yahweh membebankannya. Biarlah ia merebahkan diri dengan mukanya dalam debu, mungkin ada harapan. Biarlah ia memberikan pipi kepada yang menamparnya, biarlah ia kenyang dengan cercaan” (Rat 3:27-30). 

Istilah “memikul kuk” (yisha ‘ol, Ibr) merujuk pada situasi kehidupan yang penuh tantangan dan risiko yang harus diterima dengan lapang dada dan sikap terbuka. Dibalik setiap tantangan dan risiko yang dihadapi, selalu terbuka sebuah peluang dan kesempatan serta kemungkinan baru yang lebih baik. 

Karena, sebagaimana dikatakan Firman Tuhan, “Karena tidak untuk selama-lamanya Tuhan mengucilkan. Karena walau Ia mendatangkan susah, Ia juga menyayangi menurut kebesaran kasih setia-Nya” (Rat 3:31-32). Frasa, “Dia mendatangkan susah” (hogah, Ibr) berdampingan dengan frasa “Dia juga menyayangi” (rikham, Ibr). Artinya, Tuhan mengijinkan semua hal yang menekan terjadi untuk kebaikkan dan kedewasaan rohani.

No comments:

Post a Comment