Beberapa
hari kemarin, mata dan telinga kita tertuju pada situasi yang mencekam bukan
hanya di ibukota Jakarta melainkan di hampir semua titik di wilayah Indonesia
baik di Jawa maupun luar Jawa. Demonstrasi mahasiswa yang menuntut integritas
dan kinerja para pejabat khususnya para wakil rakyat benar-benar menyita perhatian
kita akhir-akhir ini.
Sayangnya,
peristiwa demonstrasi harus diwarnai kerincuhan karena berbagai tindakan anarkis
yang merusakkan banyak bangunan penting dan sarana prasarana milik publik.
Mulai dari pembakaran sejumlah gedung, penjarahan rumah para wakil rakyat
termasuk sejumlah menteri yang tidak ada sangkut pautnya dengan aksi
demonstrasi. Bahkan yang mengenaskan adalah jatuhnya korban di kedua belah pihak
baik aparat kepolisian maupun masyarakat termasuk mahasiswa. Ada seorang sopir
ojol yang terlindas kendaraan baracuda aparat kepolisian. Ada petugas
kepolisian yang mengalami kritis pasca demonstrasi berujung kematian.
Di
tengah suara kemarahan publik akhir-akhir ini, tersirat sebuah bentuk kemuakkan
dan ketidakpercayaan publik terhadap kebijakkan yang dikeluarkan oleh
pemerintah (eksekutof) maupun wakil rakyat (legislatif). Hilangnya trust kepada pemerintah dan pejabat negara
saat ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk korupsi,
ketidaktransparansi, dan kebijakan yang dinilai tidak pro-rakyat. Data
menunjukkan bahwa sekitar 25% masyarakat Indonesia tidak percaya pada
pemerintah, dengan angka kepercayaan terhadap lembaga seperti DPR dan partai
politik yang sangat rendah. Korupsi, pelanggaran HAM, dan kebijakan publik yang
dinilai tidak pro-rakyat menjadi akar utama masalah ini.
Di
era media sosial di mana kehidupan dan perkataan serta tindakan seseorang bahkan
berbagai keputusan atau kebijakkan yang dikeluarkan institusi apapun dapat
dikontrol dan diawasi oleh publik serta dikomentari dengan aneka ragam
penilaian, membuat kita menjadi serba salah dan mudah selalu disalahkan
seolah-olah tidak ada yang baik yang telah dikerjakan oleh seseorang yang duduk
di pemerintahan atau sebagai wakil rakyat.
Kekristenan
bukan sekedar berbicara mengenai hubungan personal dengan Tuhan yang dibangun
melalui ibadah harian atau ibadah pekanan sebagai wujud kesalehan individual
namun Kekristenan berbicara mengenai bagaimana kita bisa menjadi warga kerajaan
Tuhan sekaligus menjadi warga kerajaan dunia yang berkontribusi menciptakan
kehidupan sosial, ekonomi, budaya yang baik melalui pekerjaan yang kita miliki.
Kitab
Suci TaNaKh (Torah, Neviim, Ketuvim)
atau lazim kita menyebutnya Perjanjian Lama dan Kitab Perjanjian Baru
memberikan sejumlah petunjuk, pedoman, teladan bagaimana menciptakan kehidupan
yang lebih baik melalui pengetahuan, kompetensi kerja dan keteladanan moral. Sebut
saja salah satunya dan kita akan belajar dari Nehemia.
Ketika
kita membaca Kitab Nehemia kita akan teringat Kitab Ezra. Ya, Ezra and Nehemia
adalah rekan seangkatan, dan mereka berdua menulis tentang pembangunan kembali
Yerusalem, yang terjadi sekitar tujuh puluh tahun setelah dihancurkan oleh
pasukan Babel di bawah pimpinan Nebukadnezar. Ezra menulis tentang pembangunan
kembali bait di bawah Zerubabel, sedangkan Nehemia menulis tentang pembangunan
kembali tembok Yerusalem.
Nehemia,
demikian namanya atau dalam bahasa Ibrani Nekhem-Yah adalah anak Hakhalya,
(Nehemia 1:1) dan kemungkinan dari Suku Yehuda. Leluhurnya tinggal di
Yerusalem, tetapi Nehemia tinggal dan berdinas di Persia. (Nehemia 2:3). Nehemia
pernah bekerja dengan memangku jabatan yang tinggi, yaitu sebagai seorang juru
minuman raja Artahsasta dari Kekaisaran Persia. Ketika ia mendengar bahwa
orang-orang yang tinggal di Yerusalem berada dalam keadaan tercela dan dalam
kesulitan besar, ia meninggalkan pekerjaannya dan pergi ke Yerusalem. Di sana
ia diangkat sebagai bupati dan berhasil membangun tembok kota Yerusalem.
Pelajaran
berharga yang dapat kita peroleh dari Nehemia sebagai pejabat publik,
bahwasanya Nehemia selalu mengarahkan rakyatnya memiliki dan terkoneksi dengan Yang
Maha Tinggi. Ketika orang-orang itu mulai membangun kembali kota itu, prioritas
pertamanya adalah memastikan mereka memahami Hukum Musa. Imam Ezra membacakan Torah
selama berjam-jam di hadapan umat, supaya setiap mereka memahami kehendak Tuhan.
Nehemia 8:18 mencatat, "Bagian-bagian kitab Torah YHWH itu dibacakan tiap
hari, dari hari pertama sampai hari terakhir. Tujuh hari lamanya mereka
merayakan hari raya itu dan pada hari yang kedelapan ada pertemuan raya sesuai
dengan peraturan."
Salah
satu keteladanan Nehemia sebagai pejabat publik diperlihatkan saat dirinya
tidak mengeluarkan kebijakkan yang memberatkan publik sebagaimana pejabat
sebelumnya. Nehemia 5:14-15 menuliskan demikian, “Pula sejak aku diangkat
sebagai bupati di tanah Yehuda, yakni dari tahun kedua puluh sampai tahun
ketiga puluh dua pemerintahan Artahsasta jadi dua belas tahun lamanya, aku dan saudara-saudaraku
tidak pernah mengambil pembagian yang menjadi hak bupati. Tetapi para bupati
yang sebelumnya, yang mendahului aku, sangat memberatkan beban rakyat.
Bupati-bupati itu mengambil dari mereka empat puluh syikal perak sehari untuk
bahan makanan dan anggur. Bahkan anak buah mereka merajalela atas rakyat.
Tetapi aku tidak berbuat demikian karena takut akan Tuhan”.
Nehemia
memisahkan dan membedakan dirinya dari bupati sebelumnya yang lalim dengan
mengambil 40 syikal perak sehari bahkan anak buah petinggi tersebut menindas
rakyatnya namun dirinya tidak mau melakukan kelalilam tersebut. Mengapa?
Sebagaimana dikatakan Nehemia, Ken
mipenei yir’at Elohim (karena Takut akan Tuhan). Frasa “Takut akan Tuhan”
kerap hanya dimaknai secara sempit sebagai bentuk ketaatan religius berupa
mematuhi perintah yang berkaitan dengan ibadah personal di hadapan Tuhan. Nehemia
memberikan teladan pada kita bahwa Takut akan Tuhan atau bakti kepada Tuhan
dapat menjadi sumber mengeluarkan kebijakkan politik dan ekonomi yang
mendatangkan kesejahteraan rakyat.
Bukankah
telah dikatakan, Yir’at YHWH shenot ra’a
(takut akan YHWH membenci kejahatan, Ams 8:13)? Kata kunci dari semua perilaku
Nehemia bukan perihal tidak mau menerima gaji yang menjadi haknya, melainkan
kesalehannya mencegah dirinya dari perbuatan lalim dengan menyalahgunakan gaji
yang harus diterimannya.
Apabila
Anda adalah pejabat publik, pejabat pemerintah, wakil rakyat, pengambil
keputusan yang kerap bersingungan dengan masyarakat sadarilah bahwa tugas Anda
adalah pengemban amanat rakyat yang harus melayani dan mengusahakan
kesejahteraan rakyat.
No comments:
Post a Comment