Di sebuah kota kecil bernama Nha
Trang, Vietnam, hidup seorang pria sederhana bernama Tong Phuoc Phuc. Meski
sebuah kota kecil, Nha Trang banyak menyimpan potensi wisata mulai dari air terjun
Ba Ho dan mata air peri serta menara Po Nagar Cham yang dibangun dari Abad ke-7
Ms hingga ke-12 Ms.
Tong Phuoc Phuc bukan orang kaya,
bukan pula tokoh terkenal. Tapi di balik kesederhanaannya, tersimpan hati yang
luar biasa lembut. Semuanya bermula pada tahun 2001, saat istrinya menjalani
persalinan di rumah sakit. Tong duduk di ruang tunggu, menunggu kabar bahagia
tentang kelahiran anaknya. Tapi di tengah penantian itu, matanya menangkap
pemandangan yang membuat dadanya sesak.
Berkali-kali, ia melihat
perempuan muda keluar dari ruang bersalin tanpa membawa bayi. Ia bertanya-tanya
di mana bayi mereka? Dari seorang perawat, ia akhirnya tahu: banyak dari
perempuan itu melakukan aborsi. Janin-janin kecil itu dibuang begitu saja,
tanpa nama, tanpa tempat peristirahatan.
Sejak hari itu, hati Tong tak
tenang. Ia merasa seolah mendengar tangisan sunyi dari jiwa-jiwa kecil yang tak
sempat mengenal dunia. Maka, dengan uang tabungannya yang sedikit, ia membeli
sepetak tanah di lereng bukit Hon Thom. Di sanalah ia mulai melakukan sesuatu
yang dianggap gila oleh banyak orang yaitu menguburkan janin-janin hasil aborsi
secara layak.
Hari demi hari, tahun demi tahun,
ia datang ke rumah sakit, mengambil sisa-sisa janin yang dibuang, dan
menguburkannya satu per satu. Ia membuat salib kecil di setiap gundukan tanah,
berdoa dengan tenang, memanggil mereka dengan sebutan “anak-anakku.” Sungguh
sebuah tindakan kemanusiaan yang luar biasa dan menakjubkan!
Awalnya, banyak yang menertawakannya.
Ada yang menyebutnya aneh bahkan gila. Tapi Tong tak peduli dengan semua ejekan
tersebut. Baginya, setiap janin, sekecil apa pun, tetap memiliki hak untuk
dihormati. Dalam 15 tahun, lebih dari 10.000 janin telah ia kuburkan dengan
tangannya sendiri.
Namun seiring waktu, Tong
menyadari akar masalahnya bukan di rumah sakit, tapi di hati para ibu. Ia tahu,
banyak perempuan yang memilih aborsi bukan karena benci pada anaknya, tapi
karena takut dan putus asa. Mereka miskin, ditinggalkan pasangan, atau tidak
diterima keluarga.
Dari kesadaran itulah, Tong
membuka rumah perlindungan bagi ibu hamil yang ingin menggugurkan kandungan. Di
sana, mereka diberi tempat tinggal, makanan, dan dukungan hingga melahirkan.
Setelah bayi lahir, bila sang ibu tak sanggup membesarkan anaknya, Tong dan
istrinya dengan tulus mengasuhnya.
Kini, puluhan anak tumbuh di
bawah naungan kasihnya. Mereka memanggilnya “ayah.” Tong menyebut mereka
“anak-anak surga.” Ketika ditanya mengapa ia melakukan semua itu, Tong hanya
tersenyum dan berkata, “Saya hanya ingin memberi mereka tempat untuk
beristirahat dengan damai, dan memberi kesempatan bagi bayi-bayi berikutnya
untuk hidup”
Dari tangan seorang pria
sederhana, lahirlah pelajaran besar tentang kemanusiaan, bahwa cinta sejati
bukan hanya memberi hidup, tapi juga menghargai kehidupan, bahkan yang belum
sempat bernapas. Kisah ini bukan hanya tentang kematian, tapi tentang belas
kasih yang melampaui logika, tentang seorang manusia yang menolak membiarkan
dunia kehilangan rasa.
Tong Phuoc Phuc nampaknya seorang
Kristiani karena makam janin yang dia buat dipasangi tanda salib. Tong Phuoc
Phuc telah memberikan teladan sebagai pengikut Yesus yang baik. Bagaimana
dengan kita?
Sebagai orang Kristiani dan
murid-murid Sang Juruslamat kita diingatkan untuk meneladan Yesus Sang Mesias, Juruslamat
serta Junjungan Yang Ilahi dalam Filipi 2:5, “Hendaklah kamu dalam hidupmu
bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus…”.
Demikian pula dikatakan dalam 1 Petrus 2:21, “Sebab untuk itulah kamu
dipanggil, karena Kristuspun telah menderita untuk kamu dan telah meninggalkan
teladan bagimu, supaya kamu mengikuti jejak-Nya”.
Ya, Yesus telah memberikan hupogrammon (teladan) dan ichnesin (jejak) untuk kita ikuti baik
dalam perkataan, pikiran serta tindakkan. Teladan dan jejak mana yang telah
beliau tinggalkan kepada kita? Masih ingat kasus Yesus membebaskan seorang
wanita tuna susila dari hukuman rajam? Yesus bukan kompromi terhadap dosa namun
mengasihi orang berdosa dan memuliakan manusia melebihi hukum yang dibuat manusia.
Toch Yesus membuat perempuan tuna susila tersebut untuk berhenti berbuat dosa
setelah orang-orang yang hendak merajamnya pergi satu persatu karena tidak
sanggup memenuhi permintaan Yesus. Yesus berkata, “Aku pun tidak menghukum
engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang” (Yoh 8:11).
Masih ingat saat Yesus dikecam orang Farisi gegara berada di rumah Matius pemungut
cukai dan dituding makan bersama dengan orang berdosa? Yesus bukan sedang
menolerir dosa melainkan dia menjangkau orang berdosa dengan cara yang
manusiawi. Sabda Yesus, “Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan
orang berdosa” (Mat 10:13).
Dalam Lukas 4:18, Yesus Sang Mesias
dan Juruslamat serta Junjungan Yang Ilahi mengutip Yesaya 61:1-2 untuk
menegaskan tujuan kehadiran dan fungsi Mesianisnya dengan berkata: “Roh Tuhan YHWH
ada padaku, oleh karena YHWH telah mengurapi aku; Ia telah mengutus aku untuk
menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara, dan merawat orang-orang yang
remuk hati, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan
kepada orang-orang yang terkurung kelepasan dari penjara, untuk memberitakan
tahun rahmat YHWH dan hari pembalasan Tuhan kita”.
Semua ucapan dan pikiran serta
tindakkan Yesus yang memuliakan manusia dan membebaskan mereka dari cara
berfikir dan bertindak yang keliru, itulah yang menjadi teladan dan jejak yang
harus kita ikuti. Kehadiran Yesus Sang Anak Tuhan bukan hanya menjadi tanda
rahmat dan anugrah Tuhan Sang Pencipta dan Bapa Surgawi yang menyediakan
pengampunan dosa melalui iman kepada-Nya namun Yesus hadir mejadikan segala
sesuatu baik adanya.
Teks Markus 7:31-37 yang menjadi
landasan permenungan kita memberikan sebuah teladan dan jejak Sang Kristus/Sang
Mesias untuk kita ikuti. Setelah memperlihatkan kuasa-Nya dengan menyembuhkan
orang yang tuli dan gagap dengan cara memasukkan jarinya ke telinga dan meludah
serta meraba lidahnya serta berucap, efata
yang artinya terbukalah, semua orang menjadi takjub dan berkata, “Ia menjadikan
segala-galanya baik, yang tuli dijadikan-Nya mendengar, yang bisu dijadikan-Nya
berkata-kata” (Mrk 7:37).
Frasa Yunani, kalos panta pepoieken (Ia menjadikan
segala-galanya baik) yang diterjemahkan dalam bahasa Ibrani, ki kol asyah yafe mengandung dua makna
penting bagi kita. Pertama, ketika
kita menghadapi situasi kehidupan yang begitu membebani dan berujung pada deadlock (jalan buntu), harapan
selalu tersedia bagi kita bahwa ada yang lebih besar dari masalah yang
membebani diri kita yaitu Sang Bapa di dalam Sang Putra dan Juruslamat kita. Maka
janganlah berhenti berpengharapan bahwa Dia mampu memperbaiki dan membuat
segala sesuatu menjadi baik.
Kedua, kita dipanggil untuk meneladani Yesus Sang Juruslamat dan Junjungan
Yang Ilahi agar menjadi orang-orang yang hadir di dunia dan kehidupan nyata
serta menjadikan segala sesuatu baik, sesuai dengan talenta dan karunia yang Tuhan
percayakan pada kita. Apakah “menjadikan segala sesuatunya baik” adalah tugas
yang sulit dan hanya bisa dilakukan jika kita memiliki kekuasaan dan kekayaan? Keliru!
Siapapun diantara kita yang menjadi murid Kristus/Mesias bisa menjadikan segala
sesuatu baik sesuai dengan takaran iman dan talenta yang kita miliki. Bukankah
kisah Tong Phuoc Phuc yang tidak kaya dan berkuasa telah memberikan contoh
nyata bagi kita bahwa murid Kristus dapat membuat baik kehidupan di
sekelilingnya?
Apapun latar belakang dan status sosial
Anda, guru ternama, pengusaha sukses, aparat keamanan berpangkat tinggi ataupun
hanya buruh miskin, pedagang keliling, pekerja sosial, bertekadlah untuk
menjadi cahaya yang menerangi dan garam yang mengasini serta menjadikan
lingkungan kehidupan kita lebih baik. Tuhan menolong kita. Amin.

No comments:
Post a Comment