Tuesday, November 6, 2012

MENGAPA KATA KEESAAN DIPERGUNAKAN KATA EKHAD DAN BUKAN YAKHID?


Kata Keesaan yang dihubungkan dengan Tuhan yang bernama Yahweh muncul untuk pertama kalinya dalam Ulangan (Sefer Devarim) 6:4 sbb:

שׁמע ישׂראל יהוה אלהינו יהוה אחד

Shema Yisrael, Yahweh Eloheinu Yahweh Ekhad

New Jerusalem Bible menerjemahkan, “'Listen, Israel: Yahweh our God is the one, the only Yahweh (Deu 6:4 NJB).

Young’s Literal Translation menerjemahkan, “Hear, O Israel, Jehovah our God is one Jehovah (Deu 6:4 YLT).

Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, “Dengarlah Israel, Yahweh Tuhan kita. Yahweh itu Esa”.

Kitab Suci Indonesian Literal Translation menerjemahkan sbb:Dengarkanlah, hai Israel, YAHWEH, Elohim kita, YAHWEH itu esa”.

Rabbi Hayim Ha Levy Donin, memberikan keterangan:The Shema is declaration of faith, a pledge of allegiance to One God, an affirmation of Judaism. It is the first prayer that children are taught to say (Shema adalah pernyataan iman, ikrar kesetiaan kepada Tuhan yang Esa, sebuah penegasan mengenai Yudaisme. Ini adalah doa pertama yang diajarkan kepada seorang anak - To Pray As A Jew: A Guide to The Prayer Book And The Synagogue Service, Basic Books, 1991, p.144).

Makna Kata Ekhad

Apa arti kata Esa yang dihubungkan terhadap Tuhan Yahweh? Kata EKHAD memiliki makna ganda, baik yang bersifat unitas (kesatuan) maupun numerik (bilangan) sbb:

Kata Ekhad yang bermakna Kesatuan (unity, composite) muncul dalam beberapa ayat dan istilah sbb: “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (basyar ekhad – Kej 2:24)

Bandingkan beberapa ungkapan lainnya dimana kata Ekhad muncul al,, “satu bangsa” (am ekhad – Kej 11:6), “satu hati” (lev ekhad – Yer 32:39), “bersama” (kol haqahal ke ekhad – Ezr 2:64), “menjadi satu dalam tanganmu” (la akhadim beyadeka – Yekhz 37:17)

Kata Ekhad yang bermakna satu atau tunggal (singular) muncul dalam beberapa ayat dan istilah sbb: “Jawab raja Israel kepada Yosafat: “Masih ada seorang lagi (ish ekhad) yang dengan perantaraannya dapat diminta petunjuk Yahweh. Tetapi aku membenci dia, sebab tidak pernah ia menubuatkan yang baik tentang aku, melainkan malapetaka. Orang itu ialah Mikha bin Yimla.” Kata Yosafat: “Janganlah raja berkata demikian.” (1 Raj 22:8)

Bandingkan beberapa ungkapan lainnya dimana kata Ekhad muncul al “satu gerbang” (sa’ar ekhad – Yekhz 48:31), “Abraham seorang diri” (ekhad hayah Avraham – Yekh 33:24), “salah seorang pemimpin malaikat” (akhad hasharim – Dan 10:13)

Mengapa Tidak Menggunakan Kata Ekad dan Yakhid?

Mengapa dalam Ulangan 6:4 kata Keesaan tidak dipergunakan kata Yakhad atau Yakhid melainkan Ekhad? Karena kata Yakhad dan Yakhid mengandung makna yang bersifat numerik (bilangan) sehingga memberikan kesan bahwa kekuasan Yahweh dibatasi oleh angka dan bilangan. Yahweh itu Esa namun bukan berarti dibatasi ruang dan waktu. Kita akan menelaah mengenai kata Yakhad dan Yakhid.


Makna Kata Yakhid

Mengenai kata YAKHID memiliki makna yang bersifat numerik (bilangan) sbb: “Firman-Nya: "Ambillah anakmu yang tunggal itu (et binka et yehidka) yang engkau kasihi, yakni Ishak, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu” (Kej 22:2)
Bandingkan beberapa ungkapan lainnya dimana kata Yakhid muncul al “dialah anaknya  tunggal” (hi yekhidah - Hak 11:34) “perkabungan anak tunggal” (keevel yakhid - Am 8:10) “meratapi anak tunggal” (kemishped ha yakhid - Zak 12:10)

Makna Kata Yakhad

Kata  YAKHAD yang bermakna unitas, kesatuan, kebersamaan sbb: “Masakan Aku membiarkan engkau, hai Efraim, menyerahkan engkau, hai Israel? Masakan Aku membiarkan engkau seperti Adma, membuat engkau seperti Zeboim? Hati-Ku berbalik dalam diri-Ku, belas kasihan-Ku bangkit serentak”(yakhad nikmeru nikhumay - Hos 11:8)

Bandingkan beberapa ungkapan lainnya dimana kata Yakhad muncul al “segala suku Israel bersama-sama” (am yakhad shivtey Yisrael - Ul 33:5), “diam bersama dengan rukun/kesatuan” (shevet akhim gam yakhad - Mzm 133:1)

Makna Yahweh itu Esa

Berdasarkan analisis kata EKHAD, YAKHAD, YAKHID maka penggunaan nama Tuhan Yahweh dengan penyifatan ESA bermakna dua hal yaitu: Pertama, menunjukkan bahwa Tuhan Yahweh adalah SATU-SATUNYA yang berhak untuk disembah. Ulangan 10:20 berkata, “Engkau harus takut akan Yahweh Tuhanmu, kepada-Nya haruslah engkau beribadah dan berpaut, dan demi nama-Nya haruslah engkau bersumpah”.

Kedua, menunjukkan bahwa Tuhan sejak kekal telah bersama Sang Firman dan Roh-Nya (Kej 1:1-3). Tidak ada yang lebih dahulu diantara yang lain. Tidak ada yang lebih tinggi dari yang lain. Tuhan, Firman, Roh adalah KESATUAN. Maka dalam diri Tuhan ada kesatuan antara Firman-Nya dan Roh-Nya.

Sekalipun Yudaisme pre Messiah (sebelum Mesias) maupun post Messiah (setelah Mesias) menolak konsep dan istilah Tritunggal dalam Kekristenan, namun dasar-dasar mengenai sifat trinitaris Tuhan (Tuhan, Firman, Roh) sudah ada dalam Kitab Kejadian 1:1-3.

Sejak kekal sebelum adanya waktu, Tuhan YHWH telah bersama Firman dan Roh-Nya (Kej 1:1-3) dan serentak terlibat dalam penciptaan. Sang Firman adalah Daya Cipta Tuhan (Kej 1:3, Mzm 33:6) dan Roh memberikan kehidupan (Kej 2:7, Ayb 33:4).

Baik YHWH, Firman dan Roh bukanlah tiga melainkan satu. Karena Firman dan Roh berdiam bersama dalam kekekalan bersama YHWH (Yoh 1:1). Bukanlah tiga melainkan satu, karena Firman keluar dan datang dari hakikat Bapa (Yoh 8:42). Demikianpula Roh keluar dari Bapa (Yoh 15:26). Bukanlah tiga melainkan satu, karena Firman tidak diciptakan, melainkan menciptakan dan menyebabkan adanya ciptaan (Mzm 33:6, Yoh 1:3, Kol 1:16). Demikian pula Roh Kudus yang menyebabkan semua ciptaan menjadi hidup dan bernafas (Ayub 34:14).

Bukan pula tiga pribadi melainkan satu pribadi dengan tiga karya dan manifestasi kuasa. Mengapa satu pribadi ? Bapa, Putra dan Roh Kudus (YHWH, Firman-Nya, Roh-Nya) adalah satu pribadi dalam kekekalan, karena yang satu tidak ada dan diadakan lebih dahulu oleh yang lain. Kata “satu” dalam ulasan ini bukan bermakna aritmetik melainkan ontologik, karena kita sedang membicarakan Tuhan yang mengatasi dan berada didalam segala sesuatu yang Dia ciptakan. Sekalipun disebut satu pribadi namun bukan berarti keberbedaan antara YHWH, Firman dan Roh-Nya atau Bapa, Anak Roh Kudus ditiadakan. Bapa bukan Anak bukan Roh Kudus namun bukan bermakna yang berbeda. Inilah misteri dan paradox Ketuhanan.


   45
 
Tuhan yang Esa, yang dalam zaman hidup nabi-nabi di Perjanjian Lama, dikenal dengan nama YHWH (Yahweh, Kel 3:15), maka dalam Perjanjian Baru telah menyatakan diri-Nya kepada manusia (Ibr 1:3), melalui Firman-Nya yang menjadi manusia (Yoh 1:1,14) serta mengambil rupa manusia (Fil 2:7) yang bernama, Yesus (Mat 1:21) YANG BERGELAR Mesias (Mat 16:16) serta mengajar manusia melalui Roh-Nya yang berdiam dalam diri orang beriman (Yoh 14:16-17).

YHWH disebut sebagai Bapa Surgawi (Yes 64:8, Mat 6:9) dan Pencipta Langit serta Bumi (Yes 40:28, Mzm 121:1-2). Yesus disebut sebagai Putera Tuhan (Mat 16:16). Roh Bapa atau Roh YHWH, disebut juga Roh Kudus atau Roh kebenaran (Yoh 14:26, Yoh 15:26).

Dalam Kitab Perjanjian Baru, Yesus kembali mengikrarkan keesaan Tuhan (Mrk 12:29). Rasul Paul mengungkapkan sebutan Bapa, Putra, Roh Kudus bersamaan dengan kata Esa (1 Tim 1:17, 1 Tim 2:5-6, 1 Kor 8:5-6, Gal 3:20). Rasul Yohanes menyebutkan mengenai keesaan (Yoh 5:45). Rasul Yudas menggemakan keesaan Tuhan (Yud 1:25).

Secara historis, pemunculan istilah Tritunggal yang dirumuskan oleh para Bapa Gereja dan Apologet Kristen dimaksudkan untuk menjelaskan atau menyifatkan relasi kekal antara Tuhan, Firman, Roh yang setara, sehakikat, sederajat dan berkarya dalam sejarah penciptaan dan penyelamatan. Istilah Tritunggal bukan dimaksudkan  berbicara perihal "keberapaan Tuhan" atau Triteisme, melainkan berbicara perihal "kebagaimanaan" Tuhan dalam relasi ontologis atau relasi kehakikatan antara Tuhan, Firman serta Roh Kudus-Nya.

Namun demikian, istilah Tritunggal bukan tidak mungkin tidak bisa ditinjau ulang. Penggunaan istilah Tritunggal dapat dan memungkinkan untuk ditinjau ulang kembali. Mengapa? 

Pertama, istilah Tritunggal tidak pernah diajarkan baik oleh Yesus dan rasulnya, sekalipun dalam berbagai penyebutan salam dan doa terkandung sifat trinitaris Tuhan (Ef 1:1-2, Mat 28:19-20). Hampir semua teolog mengakui bahwa istilah “Trinitas/Tritunggal”, tidak terdapat secara literal dalam Kitab Suci. Namun essensi yang mengarah pada pengertian tersebut memang terpampang dalam banyak ayat. DR. Andar Tobing, mengakui kenyataan tersebut dan mengatakan, “Kita terpaksa memakai istilah Trinitas itu untuk menolak adjaran-adjaran dan pendapat-pendapat yang salah dan bertentangan dengan isi Alkitab. Biarpun istilah itu tidak sempurna…” (Apologetika Tentang Trinitas, BPK, 1972, hal 31). Bahkan DR. Budyanto mengusulkan suatu peninjauan kembali terhadap penggunaan istilah “Pribadi” dengan mengatakan: “Karena itu, menurut hemat penulis, kalau istilah ini pada akhirnya tidak dapat dihindarkan lagi, sebaiknya pengertian yang dipakai untuk istilah pribadi adalah, ‘suatu keberadaan sadar diri’ yang maknanya bisa menampung pengertian-pengertian tersebut (cat: “pribadi”, “Cara Berada”, “Tiga Subyektivitas dalam Unitas”, dll)… jika pengertian ‘pribadi’ itu seperti itu, maka pengertian pribadi yang dipakai sebagai bukti (ketuhanan) seperti diatas adalah tidak tepat, sebab kata pribadi itu justru dipakai untuk menunjukkan kekhususan dari sifat masing-masing, bukan kesamaan sifat” (Mempertimbangkan Ulang Ajaran Tentang Trinitas, TPK, 2001, hal 63)

Kedua, istilah Tritunggal merupakan hasil rumusan Abad III Ms untuk menjawab tantangan filsafat kafir Yunani dengan menggunakan bahasa dan pendekatan Filsafat. Ketiga, istilah Tritunggal menjadikan rintangan bahasa bagi agama non Kristen – khususnya Islam- dalam memahami konsep Tuhan dalam Kekristenan, padahal Kekristenan yang melandaskan kepercayaannya pada TaNaKh dan Kitab Perjanjian Baru menyifatkan Tuhan dengan sebutan Esa dan bukan Tritunggal.

Kiranya artikel ini memberikan pencerahan dan dorongan untuk mendiskusikan secara terbuka berbagai istilah dan rumusan doktrinal yang terikat pada konteks zamannya agar tetap relevan di setiap zaman tanpa mengubah esensi ajarannya Kitab Suci




No comments:

Post a Comment