Sekalipun Reza Aslan mengklaim
dalam pengantar bukunya, Zealot: The Life And Times of Jesus of Nazareth (2013
- http://jeankaleb.com/ebooks/Zealot.pdf)
bahwa karyanya dihasilkan dari that two
decades of rigorous academic research into the origins of Christianity (dua
dekade hasil penelitian perihal asal usul Kekristenan), namun membaca bukunya
Reza Aslan khususnya bagian pengantari terlihat bahwa Reza Aslan memilih
menggunakan pendekatan Liberal terhadap analisis sejarah Kekristenan.
Kesimpulan Aslan bukan bukan sesuatu yang baru. Teolog Liberal sebelumnya telah mengemukakan pendapatnya perihal gerakan politik Yesus yaitu John Dominic Crossan yang berjudul, Jesus: A Revolutionary Biography (2009). Aslan hanya mengulang opini Liberal Crossan bahwa Yesus historis atau Yesus dari Nazaret adalah pemimpin gerakan politik yang gagal, sebuah klaim yang tidak pernah pula diakui oleh Qur’an dan Islam, padahal Aslan mengaku sebagai seorang Sufi sekaligus Shiah (https://en.wikipedia.org/wiki/Reza_Aslan).
Kesimpulan Aslan soal historitas Yesus yang Yahudi, Yesus sebelum dikonstruksi kembali oleh Kekristenan yang terlepas dari akar keyahudiannya dan berkembang menjadi agama mainstream yang berpengaruh terhadap pembentukan peradaban Barat, saya apresiasi dan sepakat karena itulah yang saat ini saya tekuni yaitu memahami sabda dan ajaran Yesus dari konteks keyahudiannya.
Namun sangat disayangkan ketika Aslan gagal melihat secara keseluruhan konteks Keyahudian Yesus sehingga alih-alih melihat parerelisasi ajaran Yesus dengan Yudaisme dan ajaran Rabinik, Aslan justru membuat kesimpulan yang menggemakan gagasan aneh Crossan bahwa Yesus adalah pemimpin revolusioner Yahudi atau selaku pemimpin gerakan politik dengan mengatakan:
“This book is an attempt to reclaim, as much as possible, the Jesus of history, the Jesus before Christianity: the politically conscious Jewish revolutionary who, two thousand years ago, walked across the Galilean countryside, gathering followers for a messianic movement with the goal of establishing the Kingdom of God but whose mission failed when, after a provocative entry into Jerusalem and a brazen attack on the Temple, he was arrested and executed by Rome for the crime of sedition. It is also about how, in the aftermath of Jesus’s failure to establish God’s reign on earth, his followers reinterpreted not only Jesus’s mission and identity, but also the very nature and deɹnition of the Jewish messiah”.
(Buku ini adalah bertujuan menegaskan ulang, sebanyak mungkin, perihal Yesus historis, Yesus sebelum Kekristenan: revolusioner Yahudi yang sadar politik yang, dua ribu tahun yang lalu, berjalan melintasi pedesaan Galilea, mengumpulkan pengikut untuk gerakan mesianis dengan tujuan mendirikan Kerajaan Tuhan tetapi misinya gagal ketika, setelah masuk secara provokatif ke Yerusalem dan serangan yang berani terhadap Bait Suci, dia ditangkap dan dieksekusi oleh Roma karena kejahatan penghasutan. Ini juga tentang bagaimana, setelah kegagalan Yesus untuk menegakkan pemerintahan Tuhan di bumi, para pengikutnya tidak hanya menafsirkan kembali misi dan identitas Yesus, tetapi juga sifat dan definisi mesias Yahudi)
Studi perihal konteks Semitik Yudaik Yesus saat ini memang menjadi arus baru yang mulai dikaji di kalangan para teolog dengan melibatkan kajian literatur rabinik. Pentingnya kajian literatur rabinik dan konteks sosio religius Yahudi dan Yudaisme Yesus dijelaskan oleh Prof Craig Evans dalam bukunya, The Missing Jesus: Rabbinic Judaism and the New Testament sbb:
“To know the historical Jesus it is necessary to know a good deal about the world in which Jesus lived. This world was Jewish, Palestinian, and Galilean. Although not isolated from Hellenistic influences, it was fundamentally Jewish and fundamentally opposed to the syncretistic allure of its Greco-Roman power-brokers” (Brill Academic Publishers, 2002:1).
(Untuk mengetahui Yesus historis, perlu mengetahui banyak
tentang dunia di mana Yesus hidup. Dunia ini adalah Yahudi, Palestina, dan
Galilea. Meskipun tidak terisolasi dari pengaruh Helenistik, pada dasarnya
Yahudi dan secara fundamental bertentangan dengan daya pikat sinkretistik dari
pialang kekuasaan Yunani-Romawi)
Kegagalan membaca konteks keyahudian Yesus menimbulkan sejumlah interpretasi yang justru menjauhkan Yesus yang Yahudi sebagaimana dilaporkan Kitab Perjanjian Baru sebagaimana dikatakan Craig Evans sbb:
Kritik terhadap pemahaman John Dominic Crossan dapat dibaca dalam buku karya Darrel L. Bock dan Daniel B Wallace, Mendongkel Yesus Dari Tahtanya (Gramedia, 2009:159-210, versi pdfnya dapat dibaca di sini: http://indonesiaindonesia.com/f/76487-download-buku-mendongkel-yesus-tahtanya-darrel/). Baca pula kritik Prof Craig Evans dalam artikelnya, The Misplaced Jesus: Interpreting Jesus in a Judaic Context dalam The Missing Jesus: Rabbinic Judaism and the New Testament (Brill Academic Publishers, 2002:11-39, versi pdfnya dapat dibaca di sini: http://dl4a.org/uploads/pdf/Bruce_Chilton,_Craig_A._Evans,_Jacob_Neusner%20-%20The_Missing_Jesus__Rabbinic_Judaism_and_the_New_Testament%20(2003).pdf
Allan Nadler seorang profesor pada Religious Studies dan direktur pada Jewish Studies di Drew University dan Visiting Profesor Jewish Studies pada McGill University serta seorang rabi dari Congregation Beth El di Montreal, Kanada dalam artikelnya berjudul, What Jesus Wasn't: Zealot bahkan mengatakan karya Azlan terlalu tergesa-gesa dan tidak berkonsultasi pada para ahli yang mempelajari relasi Kekristenan awal dengan Yudaisme yaitu Peter Schafer (penulis buku, The Jewish Jesus) dan Daniel Boyarin (penulis buku, The Jewish Gospel) sebagaimana dia katakan:
Kiranya tanggapan ringkas ini bermanfaat. Beberapa studi kecil perihal keyahudian Yesus pernah saya tuangkan dalam beberapa artikel berikut dapat menjadi studi pembanding.
Yesus, Yahudi, Yudaisme
https://pijarpemikiran.blogspot.co.id/2013/02/apakah-yesus-bermazhab-farisi-saduki_2.html
No comments:
Post a Comment