Thursday, October 26, 2017

CATATAN KRITIS UNTUK BUKU, “ZEALOT: THE LIFE AND TIMES OF JESUS OF NAZARETH” (2013)


Sekalipun Reza Aslan mengklaim dalam pengantar bukunya, Zealot: The Life And Times of Jesus of Nazareth (2013 - http://jeankaleb.com/ebooks/Zealot.pdf) bahwa karyanya dihasilkan dari  that two decades of rigorous academic research into the origins of Christianity (dua dekade hasil penelitian perihal asal usul Kekristenan), namun membaca bukunya Reza Aslan khususnya bagian pengantari terlihat bahwa Reza Aslan memilih menggunakan pendekatan Liberal terhadap analisis sejarah Kekristenan.


Ini terlihat saat dia mengutip teolog Rudolph Bultman yang terkenal dengan teori Demitologisasi yaitu Kitab Suci baik Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru berisikan mitos yang untuk memahaminya harus dilakukan proses demitologisasi/demitos (saya masih menyimpan makalah tanggapan saya terhadap pemikiran Rudolph Bultman semasa semester pertengahan di sekolah Teologi yang berkiblat separuhnya ke pendekatan Liberal). Dalam pengantar bukunya, Aslan mengutip pernyataan Rudolph Bultman sbb:

“The great Christian theologian Rudolf Bultmann liked to say that the quest for the historical Jesus is ultimately an internal quest. Scholars tend to see the Jesus they want to see. Too often they see themselves—their own reɻection—in the image of Jesus they have constructed”.

(Teolog Kristen terkemuka, Rudolf Bultmann gemar mengatakan bahwa pencarian Yesus historis pada akhirnya adalah pencarian internal. Para sarjana cenderung melihat Yesus yang ingin mereka lihat. Terlalu sering mereka melihat diri mereka sendiri—refleksi mereka sendiri—dalam citra Yesus yang telah mereka bangun)

Bahkan kesimpulan umum isi buku ini sudah tergambar dari pendahuluan yang dilakukan oleh Reza Aslan dengan mengatakan bahwa Yesus historis adalah seorang pemimpin revolusi Yahudi yang dikalahkan oleh struktur kekuasaan Romawi. Selengkapnya, Aslan mengatakan dalam pendahuluannya sbb:

“In the end, there are only two hard historical facts about Jesus of Nazareth upon which we can confidently rely: the first is that Jesus was a Jew who led a popular Jewish movement in Palestine at the beginning of the first century C.E.; the second is that Rome  crucified  him  for  doing  so.  By  themselves  these  two  facts  cannot  provide  a complete portrait of the life of a man who lived two thousand years ago. But when combined with all we know about the tumultuous era in which Jesus lived—and thanks to the Romans, we know a great deal—these two facts can help paint a picture of Jesus of Nazareth that may be more historically accurate than the one painted by the gospels. 

Indeed,  the  Jesus  that  emerges  from  this  historical  exercise—a  zealous  revolutionary swept up, as all Jews of the era were, in the religious and political turmoil of first- century  Palestine—bears  little  resemblance  to  the  image  of  the  gentle  shepherd cultivated by the early Christian community”. 

(Pada akhirnya, hanya ada dua fakta sejarah yang sulit mengenai Yesus dari Nazaret yang dapat kita andalkan dengan yakin: Pertama, bahwa Yesus adalah seorang Yahudi yang memimpin gerakan Yahudi yang populer di Palestina pada awal abad pertama Ms. Kedua,  bahwa Roma menyalibkan dia untuk apa yang telah Dia lakukan. Dengan sendirinya kedua fakta ini tidak dapat memberikan gambaran utuh mengenai kehidupan seorang pria yang hidup dua ribu tahun yang lalu. Tetapi ketika digabungkan dengan semua yang kita ketahui tentang era penuh gejolak di mana Yesus hidup — Terima kasih kepada orang-orang Romawi, karenanya kita menjadi tahu banyak — dua fakta ini dapat membantu melukiskan gambaran Yesus dari Nazaret yang mungkin lebih akurat secara historis daripada yang dilukiskan oleh Injil. 

Memang, Yesus yang muncul dari peristiwa sejarah ini — yaitu seorang revolusioner bersemangat yang tersingkir, seperti halnya semua orang Yahudi pada masa itu, dalam gejolak agama dan politik Palestina abad pertama — tidak banyak mirip dengan citra gembala lembut yang dilembagakan oleh komunitas Kristen awal)

Kesimpulan Aslan bukan bukan sesuatu yang baru. Teolog Liberal sebelumnya telah mengemukakan pendapatnya perihal gerakan politik Yesus yaitu John Dominic Crossan yang berjudul, Jesus: A Revolutionary Biography (2009). Aslan hanya mengulang opini Liberal Crossan bahwa Yesus historis atau Yesus dari Nazaret adalah pemimpin gerakan politik yang gagal, sebuah klaim yang tidak pernah pula diakui oleh Qur’an dan Islam, padahal Aslan mengaku sebagai seorang Sufi sekaligus Shiah (https://en.wikipedia.org/wiki/Reza_Aslan).

Kesimpulan Aslan soal historitas Yesus yang Yahudi, Yesus sebelum dikonstruksi kembali oleh Kekristenan yang terlepas dari akar keyahudiannya dan berkembang menjadi agama mainstream yang berpengaruh terhadap pembentukan peradaban Barat, saya apresiasi dan sepakat karena itulah yang saat ini saya tekuni yaitu memahami sabda dan ajaran Yesus dari konteks keyahudiannya.

Namun sangat disayangkan ketika Aslan gagal melihat secara keseluruhan konteks Keyahudian Yesus sehingga alih-alih melihat parerelisasi ajaran Yesus dengan Yudaisme dan ajaran Rabinik, Aslan justru membuat kesimpulan yang menggemakan gagasan aneh Crossan bahwa Yesus adalah pemimpin revolusioner Yahudi atau selaku pemimpin gerakan politik dengan mengatakan:

“This book is an attempt to reclaim, as much as possible, the Jesus of history, the Jesus before Christianity: the politically conscious Jewish revolutionary who, two thousand years ago, walked across the Galilean countryside, gathering followers for a messianic movement with the goal of establishing the Kingdom of God but whose mission failed when, after a provocative entry into Jerusalem and a brazen attack on the Temple, he was arrested and executed by Rome for the crime of sedition. It is also about how, in the aftermath of Jesus’s failure to establish God’s reign on earth, his followers reinterpreted not only Jesus’s mission and identity, but also the very nature and deɹnition of the Jewish messiah”.

(Buku ini adalah bertujuan menegaskan ulang, sebanyak mungkin, perihal Yesus historis, Yesus sebelum Kekristenan: revolusioner Yahudi yang sadar politik yang, dua ribu tahun yang lalu, berjalan melintasi pedesaan Galilea, mengumpulkan pengikut untuk gerakan mesianis dengan tujuan mendirikan Kerajaan Tuhan tetapi misinya gagal ketika, setelah masuk secara provokatif ke Yerusalem dan serangan yang berani terhadap Bait Suci, dia ditangkap dan dieksekusi oleh Roma karena kejahatan penghasutan. Ini juga tentang bagaimana, setelah kegagalan Yesus untuk menegakkan pemerintahan Tuhan di bumi, para pengikutnya tidak hanya menafsirkan kembali misi dan identitas Yesus, tetapi juga sifat dan definisi mesias Yahudi)

Studi perihal konteks Semitik Yudaik Yesus saat ini memang menjadi arus baru yang mulai dikaji di kalangan para teolog dengan melibatkan kajian literatur rabinik. Pentingnya kajian literatur rabinik dan konteks sosio religius Yahudi dan Yudaisme Yesus dijelaskan oleh Prof Craig Evans dalam bukunya, The Missing Jesus: Rabbinic Judaism and the New Testament sbb:

“To know the historical Jesus it is necessary to know a good deal about  the  world  in  which  Jesus  lived.  This  world  was  Jewish, Palestinian,  and  Galilean.  Although  not  isolated  from  Hellenistic influences,  it  was  fundamentally  Jewish  and  fundamentally  opposed to the syncretistic allure of its Greco-Roman power-brokers” (Brill Academic Publishers, 2002:1).

(Untuk mengetahui Yesus historis, perlu mengetahui banyak tentang dunia di mana Yesus hidup. Dunia ini adalah Yahudi, Palestina, dan Galilea. Meskipun tidak terisolasi dari pengaruh Helenistik, pada dasarnya Yahudi dan secara fundamental bertentangan dengan daya pikat sinkretistik dari pialang kekuasaan Yunani-Romawi)

Hal sama dijelaskan oleh DR. David Stern penulis Jewish New Testament Commentary, “Traditional rabbinic viewpoint are an essential element to take into account in understanding the text of the New Testament" (Sudut pandang rabinik tradisional merupakan elemen penting yang harus diperhatikan dalam memahami teks Perjanjian Baru - JNTP, 1998, p. 33)

Kegagalan membaca konteks keyahudian Yesus menimbulkan sejumlah interpretasi yang justru menjauhkan Yesus yang Yahudi sebagaimana dilaporkan Kitab Perjanjian Baru sebagaimana dikatakan Craig Evans sbb:

“The placement of Jesus in his proper Judaic context entails the study of parallels just as surely as the misplacement of Jesus into a Cynic context involves comparisons with parallels. Obviously parallels can be  slippery  things;  like  statistics  they  can  be  made  to  prove  many things" (The Missing Jesus: Rabbinic Judaism and the New Testament, Brill Academic Publishers, 2002:27)

(Penempatan Yesus dalam konteks Yudaik-Nya yang tepat memerlukan studi paralel sama persis dengan penempatan Yesus yang salah ke dalam konteks Sinisme melibatkan perbandingan dengan paralel. Jelas paralel bisa menjadi sesuatu yang membuat terpeleset; seperti statistik mereka dapat dibuat untuk membuktikan banyak hal)

Kritik terhadap pemahaman John Dominic Crossan dapat dibaca dalam buku karya Darrel L. Bock dan Daniel B Wallace, Mendongkel Yesus Dari Tahtanya (Gramedia, 2009:159-210, versi pdfnya dapat dibaca di sini: 
http://indonesiaindonesia.com/f/76487-download-buku-mendongkel-yesus-tahtanya-darrel/). Baca pula kritik Prof Craig Evans dalam artikelnya, The Misplaced Jesus: Interpreting Jesus in a Judaic Context dalam The Missing Jesus: Rabbinic Judaism and the New Testament (Brill Academic Publishers, 2002:11-39, versi pdfnya dapat dibaca di sini: http://dl4a.org/uploads/pdf/Bruce_Chilton,_Craig_A._Evans,_Jacob_Neusner%20-%20The_Missing_Jesus__Rabbinic_Judaism_and_the_New_Testament%20(2003).pdf


Allan Nadler seorang profesor pada Religious Studies dan direktur pada Jewish Studies di Drew University dan Visiting Profesor Jewish Studies pada  McGill University serta seorang rabi dari Congregation Beth El di Montreal, Kanada dalam artikelnya berjudul, What Jesus Wasn't: Zealot bahkan mengatakan karya Azlan terlalu tergesa-gesa dan tidak berkonsultasi pada para ahli yang mempelajari relasi Kekristenan awal dengan Yudaisme yaitu Peter Schafer (penulis buku, The Jewish Jesus) dan Daniel Boyarin (penulis buku, The Jewish Gospel) sebagaimana dia katakan:

“Boyarin and Schäfer are just two of the many serious scholars whose works Aslan has clearly failed to consult” (Boyarin dan Schäfer hanyalah dua dari banyak sarjana serius yang karya-karyanya jelas gagal dikonsultasikan oleh Aslan). Simplifikasi kesimpulan bahwa Yesus seorang Zelot ditegaskan dalam pernyataan Allan Nadler sbb: 

“This combination of overly confident and simplistic assertions on exceedingly complex theological matters, with stretching of truths—numerical, historical, theological, and personal—permeates Aslan’s bestseller” (What Jesus Wasn't: Zealot -https://jewishreviewofbooks.com/articles/449/reza-aslan-what-jesus-wasnt/ )

(Kombinasi pernyataan yang terlalu percaya diri dan sederhana tentang masalah teologis yang sangat kompleks, dengan peregangan kebenaran — meliputi angka, historis, teologis, dan pribadi — meresapi buku terlaris Aslan)

Kiranya tanggapan ringkas ini bermanfaat. Beberapa studi kecil perihal keyahudian Yesus pernah saya tuangkan dalam beberapa artikel berikut dapat menjadi studi pembanding.

Yesus, Yahudi, Yudaisme

https://pijarpemikiran.blogspot.co.id/2013/02/apakah-yesus-bermazhab-farisi-saduki_2.html

Apakah Yesus Bermazhab Farisi, Saduki Atau Esseni?

No comments:

Post a Comment