Thursday, February 22, 2018

PEWARTAAN INJIL DI TENGAH PEMIKIRAN FILSAFAT STOA DAN EPIKUROS

Saat Rasul Paul memberitakan Injil ke Athena, untuk pertama kalinya ajaran Injil berjumpa dengan Filsafat Yunani yang kala itu diwakili oleh pemikiran Stoa dan Epikuros sebagaimana dikatakan, “Dan juga beberapa ahli pikir dari golongan Epikuros dan Stoa bersoal jawab dengan dia dan ada yang berkata: "Apakah yang hendak dikatakan si peleter ini?" Tetapi yang lain berkata: "Rupa-rupanya ia adalah pemberita ajaran dewa-dewa asing." Sebab ia memberitakan Injil tentang Yeshua dan tentang kebangkitan-Nya” (Kis 17:18). 

Frasa Yunani Epikoureion kain Stoikon philosophon secara literal dapat diterjemahkan, “para filsuf Epikurus dan Stoa”. Kaum Stoa percaya bahwa setiap orang adalah bagian dari satu akal atau logos yang sama. Mereka beranggapan bahwa setiap orang adalah seperti sebuah dunia miniatur atau mikrokosmos yang merupakkan cerminan makrokosmos. Ini mendorong pada pemikiran perihal keberadaan hukum alam yang universal yang didasarkan pada akal manusia yang abadi. Mereka menyangkal adanya perceraian antara roh dan tubuh atau individu dan alam. Merekapun mengajarkan untuk menerima takdir apapun yang harus dialami oleh manusia dengan berani karena segala sesuatu ada sebab dan akibatnya. Semuanya adalah satu kesatuan yang lazim disebut dengan paham monisme. Kaisar Marcus Aurelius (121-180 Ms) dan negarawan Cicero (106-43 Ms) adalah pewaris ajaran Stoa. 

Sementara Epicuros yang melanjutkan pemikiran murid Socrates bernama Aristipus yang memiliki prinsip hidup, “kebaikkan tertinggi adalah kenikmatan” dan “kejahatan tertinggi adalah penderitaan”. Epicuros mengajarkan untuk mengatasi rasa takut dan kematian. Sebagaimana ajarannya bertumpu pada pemikiran Democritos yang tidak mengakui kehidupan setelah kematian karena saat kematian atom-atom jiwa bertebaran, demikianlah Epikuros mengajarkan bahwa kematian tidak menakutkan kita. Epikuros terkenal dengan empat ramuan obat filosofisnya yaitu, “Dewa-dewa bukan untuk ditakuti. Kematian tidak perlu dikuatirkan. Kebaikkan mudah dicapai. Ketakutan itu mudah ditanggulangi”. Jika pemikiran Stoa dekat pada Panteisme (segala sesuatu memiliki nyawa) maka pemikiran Epikuros dekat pada Materialisme (segala sesuatu tidak bernyawa). 

Dua karang pemikiran filsafat inilah yang dijumpai Rasul Paul. Tidak mengherankan jika mereka mengatakan Paulus mengajarkan dewa-dewa asing dan menolak kebangkitan dari kematian karena filsafat Epikuros tidak mengenal makna dan kehidupan setelah kematian sementara filsafat Stoa memandang bahwa kematian adalah kembali kepada alam.

Namun pewartaan Injil tidak sia-sia. Sekalipun ada para filsuf yang menolak sebagaimana dikatakan, "Ketika mereka mendengar tentang kebangkitan orang mati, b  maka ada yang mengejek, dan yang lain berkata: "Lain kali saja kami mendengar engkau berbicara tentang hal itu" (Kis 17:32), namun di sisi lain ada yang menerima dengan hati terbuka sebagaimana dikatakan, "Lalu Paulus pergi meninggalkan mereka. Tetapi beberapa orang laki-laki menggabungkan diri dengan dia dan menjadi percaya, di antaranya juga Dionisius, anggota majelis Areopagus,  dan seorang perempuan bernama Damaris, dan juga orang-orang lain bersama-sama dengan mereka" (Kis 17:33-34)

Beberapa puluh tahun kemudian akan lahir para filsuf Kristen yang menjadi pewarta dan pembela Injil seperti Yustinus Martir (100-165 Ms) menjadi seorang Kristen ketika ia merenungkan tulisan-tulisan Taurat dan membaca Injil serta surat-surat Paulus. Beliau adalah murid pemikiran Filsafat Stoa dan Aristoteles.

Sebelum Renaisance, di Abad Pertengahan ditandai sebuah era kejayaan Filsafat yang dipergunakan untuk menjelaskan iman Kristiani yaitu era Patristik (500-800 Ms) yang melahirkan tokoh seperti Tertulianus (160-222 Ms), Origenes (185-254 Ms), Agustinus (354-430 Ms) dll dan era Skolastik (800-1500 Ms) yang melahirkan Thomas Aquinas.

No comments:

Post a Comment