Thursday, October 4, 2018

KESADARAN KRITIS DI ERA POST TRUTH


Saat Perang Baratayudha tidak terhindarkan lagi, bertemulah keluarga Pandawa dan Kurawa di padang peperangan bernama Kursetra. Keduanya sama-sama keturunan Barata yang dikarenakan intrik dan konflik berkepanjangan berakhir di medan peperangan. Di saat peperangan terjadi, kekuatan Kurawa begitu digdaya. 

Bukan semata-mata saudara-saudara Kurawa yang berjumlah seratus sementara Panda hanya lima, namun tokoh-tokoh penting termasuk Bisma (kakek Pandawa dan Kurawa) berpihak pada Kurawa namun juga Dorna Sang Guru Pandawa dan Kurawa berpihak pada Kurawa. 

Ketika Bisma gugur di medan laga oleh panah Srikandi, kekuatan Kurawa masih tangguh dengan menyisakan Dorna sebagai lawan kuat Pandawa. Sungguh sebuah peperangan yang penuh dilema karena Dorna adalah guru Pandawa, sekalipun kerap pilih kasih membela Kurawa. 

Pandawa akhirnya harus mengatur siasat untuk mengalahkan Dorna dan mengurangi kekuatan Kurawa. Kresna pendamping Pandawa mengatur siasat dan meminta Bima salah satu keluarga Pandawa membunuh Gajah bernama Estitama yang kemudian dipukul pecah kepalanya kemudian diumumkan di medan laga hingga terdengar oleh Dorna bahwa Aswatama gugur. 

Dorna memiliki putra terkasih bernama Aswatama. Demi didengar berita yang sampai ke telinganya bahwa Aswatama gugur (padahal gajah Estitama yang tewas, bukan Aswatama putranya), Dorna kehilangan kendali dan semangat. Dorna ingin mengklarifikasi berita tersebut kepada Yudistira (Puntadewa) sebagai kakak sulung Pandawa yang dikenal jujur dan tidak pernah dusta. 

Saat Yudistira diminta memberikan pengakuan jujur, dengan berat hati dan mengecilkan volume suaranya, Yudistira membenarkan berita yang didengar Dorna. Menurut kisah, kereta kuda Yudistira tidak pernah menepak tanah. Namun saat dirinya berdusta pada Dorna, roda kereta tersebut menyentuh tanah. Dalam versi lain dikisahkan roda kayu kereta Yudistira pecah dan menyentuh tanah. Habislah sudah harapan Dorna terhadap putra yang dikasihinya. 

Mantra Bramastha yang hendak diucapkannya untuk memusnahkan Pandawa ditarik kembali. Dia lebih memilih mati dan menyerahkan dirinya dihujani senjata Pandawa. Dari sekian panah yang ditujukan padanya, semua dapat ditepisnya kecuali satu akhirnya mengenai dada Dorna. Akhirnya, pedang Drestayumna mengakhiri nyawa Dorna yang mengikhlaskan nyawanya pada dewata. Kepala Sang Resi terputus seketika oeh tajamnya pedang Drestayumna.

Kisah di atas memperlihatkan bahwa hoax (berita bohong) yang saat ini telah menjadi fenomena sosial dan budaya yang menggelisahkan bahkan telah menjadi komoditas politik, ternyata telah berusia setua peradaban dan manusia. Sekalipun dianggap mitologi India, namun sejumlah ahli berupaya mengetahui tahun peristiwanya. Ada yang menuliskan tarikh 2559 sM (DR. S. Balakrishna), ada yang mengusulkan tarikh 1478 sM (Prof . I.N. Iyengar).  

Apapun itu, hoax (sekalipun pada riwayat Baratayudha dijadikan strategi melumpuhkan kekuatan musuh) telah berusia tua, setua manusia. Dan Hoax, berhasil mengubah arah sejarah dan konstelasi kekuasaan dimana akhirnya Pandawa berhasil memenangkan peperangan melawan Kurawa, sekalipun kemenangan Panda bukan bertumpu pada kematian Dorna melalui siasat manipulasi berita.

Demikian pula dalam Kitab Injil, dengan setting peristiwa kehidupan Yesus di sekitar tahun 31 Ms, dijumpai sebuah penyebarluasan berita palsu oleh beberapa kelompok imam kepala sesaat setelah menerima laporan para penjaga kubur Yesus perihal kuburnya yang kosong dan pintu batunya yang bergeser. Dikatakan demikian, “Dan sesudah berunding dengan tua-tua, mereka mengambil keputusan lalu memberikan sejumlah besar uang kepada serdadu-serdadu itu dan berkata: "Kamu harus mengatakan, bahwa murid-murid-Nya datang malam-malam dan mencuri-Nya ketika kamu sedang tidur. Dan apabila hal ini kedengaran oleh wali negeri, kami akan berbicara dengan dia, sehingga kamu tidak beroleh kesulitan apa-apa." Mereka menerima uang itu dan berbuat seperti yang dipesankan kepada mereka. Dan ceritera ini tersiar di antara orang Yahudi sampai sekarang ini” (Mat 28:12-15). 

Perhatikan frasa “Dan cerita ini tersiar” (και διεφημισθη ο λογος - kai diephemisthe ho logos, Yun) berkaitan dengan frasa, “Dan berbuat seperti yang dipesankan” (εποιησαν ως εδιδαχθησαν - epoiesan hos edidachtesan, Yun). Kata edidachtesan dari kata kerja didaskoo yang artinya “mengajar”. Berarti apa yang tersebar luas sebagai sebuah dusta (hoax) dihasilkan dari narasi ciptaan beberapa oknum imam kepala Yahudi pada zaman itu yang hendak menyangkali peristiwa kebangkitan Yesus.

Revolusi teknologi informasi Abad 21 berhasil menjadikan handphone menjadi smartphone yang bukan sekedar media komunikasi verbal maupun tulisan melainkan menjadi media untuk mendapatkan informasi melalui sejumlah aplikasi yang terkoneksi dengan teknologi internet. 

Kita bisa mendapatkan berita apapun hanya dalam hitungan detik dengan sekali sentuhan di layar smartphone kita tanpa harus pergi ke warnet. Muncullah media sosial seperti facebook, whatsapp, line, instagram dsj yang dapat mempercepat penyebaran luasan informasi sebuah berita. 

Namun sayangnya jaringan kejahatan akan selalu memanfaatkan apa yang baik menjadi yang tidak baik untuk menjalankan kepentingan dan keuntungan mereka sendiri. Peredaran berita palsu atau hoax semakin membingungkan masyarakat. Bahkan ada sebuah jaringan kejahatan bernama Saracen yang berhasil dibongkar kepolisian dimana mereka mengelola bisnis ujaran kebencian dengan tarif murah hingga mahal ratusan juta rupiah untuk memenuhi kepentingan politik tertentu oleh para pemesannya. 

Beberapa hari ini media sosial dan media massa on line dihebohkan dengan kesimpangsiuran sebuah berita perihal tokoh aktivis sosial Ratna Sarumpaet yang isyunya mengalami lebam wajah akibat penganiayaan. Berita terakhir didapati fakta bahwa itu hoax dan Ratna Sarumpaetlah sebagai sumber hoax itu sendiri. Publik hampir tidak bisa lagi membedakan mana fact news (berita fakta) mana fake news (berita palsu). Beberapa ilmuwan sosial menyebut era ini sebagai post truth karena samarnya sebuah kebenaran akibat berbagai distorsi dan penyesatan informasi. 

Diperlukan sebuah sikap berfikir yang meragukan segala sesuatu dan tidak mudah mempercayai apapun yang kita lihat dan dengar sampai kita mendapatkan informasi yang akurat. Tidak mudah memang, apalagi di kalangan akar rumput dan masyarakat yang kurang terdidik dan minus akses kepada sumber informasi yang akurat. 

Namun keraguan terhadap segala sesuatu adalah sikap minimal yang mencegah kita untuk tidak mudah hanyut dan larut dalam kesadaran kolektif yang palsu dan distortif. Berkaca pada sikap jemaat Yahudi di Berea yang dikontraskan dengan jemaat Yahudi di Tesalonika menjadi titik berangkat bagaimana kita merespon keadaan saat ini. 

Jemaat Yahudi di Tesalonika bersifat close minded (berfikiran tertutup) dibandingkan jemaat Yahudi di Berea yang open minded (berfikiran terbuka). Jemaat Yahudi di Berea bukan hanya memiliki “kerelaan hati” (προθυμιας - prothumias, Yun) melainkan “menyelidiki” (ανακρινοντες - anakrinontes, Yun) Kitab Suci untuk membuktikan apakah ajaran rasul-rasul benar atau keliru sebagaimana dikatakan, “Orang-orang Yahudi di kota itu lebih baik hatinya dari pada orang-orang Yahudi di Tesalonika, karena mereka menerima firman itu dengan segala kerelaan hati dan setiap hari mereka menyelidiki Kitab Suci untuk mengetahui, apakah semuanya itu benar demikian” (Kis 17:11). 

Dalam konteks kehidupan masa kini di era digital yang bukan hanya memudahkan segala akses informasi melainkan memudahkan penyebarluasan hoax yang menyesatkan, marilah kita melatih kesadaran kritis dan menyelidiki hingga mendapatkan informasi yang akurat. 

Kita bukan hanya harus memiliki kesadaran kritis dengan tidak mudah percaya dengan informasi yang kita terima, namun juga tidak menjadi bagian dari viralitas sebuah berita dusta. Imamat 19:16 mengatakan, "לא־תלך רכיל בעמיךLo telek rakil beameka" (Janganlah engkau pergi kian ke mari menyebarkan fitnah di antara orang-orang sebangsamu...Im 19:16).

Di era digital, penyebarluasan berita dan informasi palsu tidak lagi harus dengan תלך רכיל -telek rakil (berjalan kian kemari) melainkan dengan sekali sentuh di layar smartphone maka dalam hitungan detik dan menit berita palsu dengan cepat telah tiba dari satu kota ke kota lainnya dari satu negara ke negara lainnya. Melihat dampak reproduksi berita palsu, berwaspadalah dan periksa kembali apapun yang kita dengar dan baca.

Jangan mudah percaya terhadap berita apapun yang kita terima. Bersikaplah skeptik dan menjaga jarak dengan semua informasi. Pertimbangkan masak-masak sebelum memviralkan sebuah berita atau informasi, agar kita tidak mudah menjadi korban provokasi dan kebohongan yang menjerumuskan kesadaran dan tindakkan.


No comments:

Post a Comment