Gambar: https://www.washingtonpost.com
Sejak awal Juni, pemerintah telah memberlakukan sebuah kebijakan baru dalam merespon pandemi Covid-19 dengan istilah “New Normal”. Secara hurufiah, istilah “new normal” bermakna kenormalan yang baru. Namun secara semantik istilah “new normal” hendak menyampaikan sebuah konsep mengenai kehidupan keseharian khususnya keekonomian yang berjalan kembali setelah beberapa waktu lamanya terhenti dikarenakan panemi Covid-19. Kehidupan keseharian yang kembali normal ini diiringi dengan kebaruan yang berbeda dengan sebelumnya. Ada tata nilai dan tata perilaku yang berbeda yang diberlakukan. Itulah sebabnya disebut normal yang baru.
Bentuk kenormalan baru berkaitan dengan menyiasati pandemi
Covid-19 adalah dengan diberlakukannya protokol kesehatan berupa, menggunakan
masker kemanapun pergi, tidak bersentuhan tangan saat berjabatan tangan,
membasuh tangan ketika akan memasuki rumah atau kawasan tertentu, menjaga jarak
saat duduk dalam sebuah pertemuan atau berdiri mengantri di pusat perbelanjaan.
Belum lagi sejumlah peraturan birokrasi yang berkaitan dengan mengadakan
perjalanan jauh ke suatu kota dengan menggunakan jasa pesawat terbang atau
kereta api.
Menyikapi pandemi Covid-19 yang menjadi menjadi problem global
semua negara dan diberlakukannya sejumlah protokol kesehatan, bagi sebagian
kalangan tertentu dianggap menyulitkan, merepotkan bahkan mencerminkan bentuk
ketidakberimanan pada Tuhan yang menjadi sumber perlindungan.
Namun apakah benar bahwa cara pemerintah dan juga komunitas umat
beriman yang mematuhi protokol kesehatan secara demikian mencerminkan sikap
ketidakberimanan dan hanya menggantungkan diri pada kekuatan ilmu pengetahuan? Sefer
Mishley 27:12 mengatakan demikian:
עָר֤וּם
רָאָ֣ה רָעָ֣ה נִסְתָּ֑ר פְּ֜תָאיִ֗ם עָבְר֥וּ נֶעֱנָֽשׁוּ
(Arum raah ra'a nishtar, petayim avru
neenashu)
“Kalau
orang bijak melihat malapetaka, bersembunyilah ia, tetapi orang yang tak
berpengalaman berjalan terus, lalu kena celaka” (Ams 27:12). Kata
Ibrani עָר֤וּם (arum) diterjemahkan
secara berbeda oleh Lembaga Alkitab
Indonesia menjadi, “telanjang” sebagaimana dalam ungkapan, “Mereka keduanya telanjang” (wayihyu seneyhem arumim - Kej 2:25). Di bagian lain
diterjemahkan “cerdik” sebagaimana dikatakan, “Adapun ular ialah yang
paling cerdik dari segala binatang
di darat yang dijadikan oleh YHWH Tuhan” (wehanakhash hayah arum mikkol hayat hashadeh asyer asyah YHWH
Elohim - Kej 3:1).
Akan lebih tepat jika kata עָר֤וּם (arum) dalam Amsal 27:12 diterjemahkan
dengan “cedik” tinimbang “bijaksana” yang biasanya dipergunakan untuk
menerjemahkan kata חָכָ֣ם (khakam) sebagaimana dalam Amsal 3:7, “Janganlah engkau menganggap dirimu sendiri bijak, takutlah akan YHWH dan jauhilah
kejahatan” (al tehi khakam beeyneka yera et YHWH wesur mera’).
Lantas apa bedanya “bijaksana” dan “cerdik?” Amsal
24:3-4 membedakan antara “hikmat” (khokmah), “kepandaian” (binah), “pengertian”
(da’at) sebagaimana dikatakan, “Dengan hikmat rumah didirikan, dengan kepandaian itu ditegakkan, dan dengan pengertian kamar-kamar diisi dengan
bermacam-macam harta benda yang berharga dan menarik”. Dengan merujuk pada
pemilahan ini maka “bijak/bijaksana” (khakam) lebih menunjukkan keluasan
pengetahuan dan pemahaman kerohanian yang menentukan sebuah sikap dan tindakan.
Sementara “cerdik” lebih menunjukkan pada kemampuan membaca situasi sebelum
mengambil sebuah keputusan.
Memiliki kecerdikan bukan sebuah kejahatan
hanya dikarenakan ular dikatakan sebagai hewan paling cerdik di antara hewan
yang diciptakan Tuhan. Toch Yesus Sang Mesias dan Juruslamat kita bersabda, “Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular (ginesthe oun pronimoi hos hoi opheis) dan tulus seperti merpati” (Mat 10:16).
Melalui analisis teks
Amsal 27:12 di atas maka kita bisa meletakkan keputusan pemerintah atau sikap
mematuhi protokol pemerintah dalam mencegah perkembangan pandemi Covid-19
merupakan sikap yang mencerminkan “kecerdikan” (arum) dalam mengatasi pandemi.
Mematuhi protokol
pemerintah – sejauh tidak merampas hal prinsipil dalam berkeyakinan – adalah sikap
Kristiani (Rm 3:1-7, 1 Ptr 2:13-14, Tit 3:1-2). Mematuhi sejumlah protokol
kesehatan adalah salah satu bentuk “kecerdikan” dalam menghadapi pandemi
Covid-19. Bukankah situasi menghadapi pandemi ini adalah situasi “pertempuran?”
Dalam situasi pertempuran dibutuhkan “strategi” dan “kecerdikan” bukan?
Lantas bagaimana
dengan teks-teks Kitab Suci yang menegaskan kuasa Tuhan terhadap sakit penyakit
serta perlindungan yang dijanjikan-Nya (Mzm 91:1-16, Mrk 16:17-18, Yoh 14:14
dll)? Sederhana saja penjelasannya. Apakah selama ini jika kita sakit flu atau
demam hanya cukup mengatasinya dengan berdoa atau meminum obat sesuai dengan
dosis yang dianjurkan? Apakah selama ini jika ada orang mengalami sakit stroke
dan gangguan jantung dsj kita cukup mendoakan atau menyerahkan kepada rumah
sakit unuk dirawat dan disembuhkan?
Tuhan YHWH, Bapa
Surgawi itu berkuasa, Ya dan Amen. Yesus Sang Mesias Putra-Nya Yang Tunggal itu
berkuasa mengatasi segala penyakit, Ya dan Amin. Namun bukan bermakna kita sama
sekali tidak dapat disentuh oleh sakit penyakit. Ayat-ayat di atas (Mzm 91:1-16,
Mrk 16:17-18, Yoh 14:14 dll ) adalah sebuah kekuatan agar kita tidak hanya menggantungkan
harap pada kekuatan manusia belaka melainkan pada kuasa Tuhan. Namun demikian
kita tidak boleh berlaku takabur dan ceroboh seolah-olah kita menjadi orang
kebal dan sakti dari penyakit apapun.
Justru saat kita
sakit, kita menggunakan obat hasil ilmu pengetahuan yang diberikan Tuhan namun
serentak memohon kesembuhan oleh kuasa Tuhan. Obat dan doa adalah alat yang
dipakai untuk mendapatkan kesembuhan. Jika Tuhan YHWH bisa menggunakan “garam”
(2 Raj 2:21) dan “sepotong kayu” (Kel 15:25) menjadi
media kesembuhan, mengapa kita harus menyebutkan tidak beriman obat-obatan
modern dan protokol kesehatan yang didesain kedokteran?
Akhir kata, marilah
kita menjalani aktivitas kehidupan keseharian dengan melandaskan pada iman dan
pengharapan pada karya dan kuasa Tuhan serta berlaku cerdik dalam segala
situasi.Karena kecerdikan menjadi salah satu kemampuan yang meluputkan kita dari
malapetaka
No comments:
Post a Comment