Narasi
2 Raja-raja 2:19-22 bisa dikatakan karir permulaan Elisha paska diambilnya Elia
ke Sorga dengan kereta berapi diiringi angin badai. Perbuatan ajaib yang
dilakukan Elisha setelah menerima “dua bagian roh” (shenayim ruakh, Ibr) yang
dimiliki Elia adalah menawarkan air yang menyebabkan kematian dan keguguran
bayi (mawet umeshakalet, Ibr) melalui
garam (melakh, Ibr) yang dilempar ke
dalam air dengan diucapkan sabda Tuhan, “Kemudian
pergilah ia ke mata air mereka dan melemparkan garam itu ke dalamnya serta
berkata: "Beginilah firman Yahweh: Telah Kusehatkan air ini, maka tidak
akan terjadi lagi olehnya kematian atau keguguran bayi” (2 Raj 2:21).
Apa
yang terjadi setelah garam yang dilemparkan ke air tersebut? “Demikianlah air itu menjadi sehat (wayerafe
hamayim, Ibr) sampai hari ini sesuai dengan firman yang telah disampaikan
Elisa” (2 Raj 2:22). Dalam renungan 2 Raja-raja 2:1-18 saya menutup dengan
pernyataan, “Jangan membatasi apa yang
bisa Tuhan lakukan di masa lalu untuk dilakukan-Nya di masa kini”.
Apa yang
saya saksikan berikut ini adalah apa yang sudah saya kerjakan bertahun-tahun
sebelum saya menemukan ayat ini untuk saya jadikan bahan renungan. Setiap hujan
deras tiba dan disertai angin yang bisa membahayakan rumah atau lingkungan
saya, biasanya saya mengambil segenggam garam dan mengucapkan kata-kata iman
lalu melemparkan garam ke udara di tengah hujan dan angin tanpa satu orangpun
melihatnya. Alhasil, dalam tempo 15 menit dari hasil pengalaman berulang yang
saya lakukan, hujan dan angin beralih atau malah berhenti.
Percaya atau tidak,
saya tidak memaksa siapapun untuk mempercayainya. Warisan berfikir Barat dan
juga kekristenan Barat yang kolonialistik sekaligus rasionalistik kerap
mengotakkan penggunaan media alam (air, garam, daun, kayu, dll) dengan istilah
sinkretisme iman dan budaya tanpa mereka memahami proses ketika seseorang dari
kebudayaan yang berbeda (Barat dan Timur) sedang menerjemahkan sabda Tuhan
dalam konteks kebudayaan setempat yang relevan.
Ini pernah terjadi pada diri
tokoh pekabar Injil Jawa Abad XIX bernama Kiai Sadrach Suropranoto yang
dituding sesat dan sinkretis oleh Zending Belanda tanpa melihat proses
pertobatan Sadrach yang dramatis dan karya pelayanannya yang berhasil membawa
ribuan orang Jawa mengenal Juruslamat baik melalui perdebatan di pesantren-pesantren
maupun perbuatan ajaib yang memikat orang mengikut Sang Juruslamat.
No comments:
Post a Comment