Tuesday, May 9, 2017

MENETAPKAN HUKUM DENGAN ADIL (Sefatem Tsedeq)


Setiap orang yang berurusan dengan hukum pada sebuah persidangan di gedung pengadilan tentu mencari apa yang disebut keadilan. Ketika sebuah keputusan ditetapkan oleh hakim setelah melalui perdebatan panjang antara jaksa penuntut dan pengacara dengan berbagai barang bukti dan saksi, sampailah pada sebuah keputusan hakim.

Reaksi terhadap sebuah keputusan hakim ketika dinyatakan tidak memenuhi rasa keadilan bisa mengambil dua rupa yaitu reaksi rasional dan reaksi emosional. Dengan emosional diperlihatkan dengan kemarahan dan melakukan tindakkan destruktif baik terhadap hakim, terdakwa atau gedung pengadilan. Reaksi rasional diperlihatkan dengan menempuh langkah-langkah yang disyaratkan dalam peraturan perundangan baik Banding maupun Kasasi bahkan Peninjauan Kembali.

Dari perspektif agama, peran seorang hakim sangat penting bukan dikarenakan dia harus mengambil keputusan hukum secara rasional dengan instrumen ilmu hukum belaka melainkan harus memenuhi rasa keadilan. Oleh karenanya berlaku pedoman moral sbb: 
 
“Janganlah kamu berbuat curang dalam peradilan; janganlah engkau membela orang kecil dengan tidak sewajarnya dan janganlah engkau terpengaruh oleh orang-orang besar, tetapi engkau harus mengadili orang sesamamu dengan kebenaran (betsedeq tishpot amiteka)” (Sefer Wayiqra/Kitab Imamat 19:15)

“Dan pada waktu itu aku (Musa) memerintahkan kepada para hakimmu, demikian: Berilah perhatian kepada perkara-perkara di antara saudara-saudaramu dan berilah keputusan yang adil (sefatem tsedeq) di dalam perkara-perkara antara seseorang dengan saudaranya atau dengan orang asing yang ada padanya” (Sefer Devarim/Kitab Ulangan 1:16)

“Hakim-hakim dan petugas-petugas haruslah kauangkat di segala tempat yang diberikan YHWH Tuhanmu, kepadamu, menurut suku-sukumu; mereka harus menghakimi bangsa itu dengan pengadilan yang adil (mishpat tsedeq) Janganlah memutarbalikkan keadilan, janganlah memandang bulu dan janganlah menerima suap, sebab suap membuat buta mata orang-orang bijaksana dan memutarbalikkan perkataan orang-orang yang benar. Semata-mata keadilan, itulah yang harus kaukejar (tsedeq tsedeq tirdof) supaya engkau hidup dan memiliki negeri yang diberikan kepadamu oleh YHWH Tuhanmu” (Sefer Devarim/Kitab Ulangan 16:18-20)

Berulang kali kalimat, “mengadili dengan kebenaran”, “keputusan yang adil”, “pengadilan yang adil” “semata-mata keadilan yang harus dikejar” muncul dalam teks Kitab Suci di atas. Ini menjadi petunjuk moral betapa sebuah keputusan yang keluar dari seorang hakim harus memenuhi rasa keadilan.

Namun apa yang dimaksudkan dengan keadilan? Bukankah setiap orang memiliki subyektifitas dalam mendefinisikan keadilan? Adil bagi seseorang belum tentu adil bagi orang lain? Kata “adil” dalam teks berbahasa Ibrani dipergunakan kata “tsedeq” sebagaimana diungkapkan dalam kalimat, “mengadili orang sesamamu dengan kebenaran” (betsedeq tishpot amiteka, Im 19:15), “keputusan yang adil” (sefatem tsedeq, Ul 1:16), “pengadilan yang adil” (mishpat tsedeq, Ul 16:18), “Semata-mata keadilan, itulah yang harus kaukejar” (tsedeq tsedeq tirdof, Ul 16:20).

Untuk memahami kata “tsedeq” marilah kita melihat kutipan teks berikut: “Janganlah kamu berbuat curang dalam peradilan, mengenai ukuran, timbangan dan sukatan. Neraca yang betul, batu timbangan yang betul, efa yang betul dan hin yang betul haruslah kamu pakai; Akulah YHWH Tuhanmu yang membawa kamu keluar dari tanah Mesir. Demikianlah kamu harus berpegang pada segala ketetapan-Ku dan segala peraturan-Ku serta melakukan semuanya itu; Akulah YHWH” (Im 19:35-37). Frasa, “Neraca yang betul, batu timbangan yang betul, efa yang betul dan hin yang betul” dalam teks berbahasa Ibrani dituliskan, “moznei tsedeq, avnei tsedeq, eifat tsedeq wehin tsedeq”. Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) menerjemahkan kata Ibrani “tsedeq” dengan “betul”. Kandungan makna kata “tsedeq” dalam teks tersebut bermakna, “benar”, “akurat, “tepat”, “seimbang”.

Berdasarkan analisis kata “tsedeq” di atas maka kata “adil” dalam kalimat “mengadili orang sesamamu dengan kebenaran” (betsedeq tishpot amiteka, Im 19:15), “keputusan yang adil” (sefatem tsedeq, Ul 1:16), “pengadilan yang adil” (mishpat tsedeq, Ul 16:18), “Semata-mata keadilan, itulah yang harus kaukejar” (tsedeq tsedeq tirdof, Ul 16:20) dapat diartikan sebagai sebuah keputusan hakim di pengadilan yang bersifat akurat, benar, tepat, seimbang alias tidak berat sebelah.

Namun harus diakui bahwa sebuah keputusan yang adil tidak mudah dilakukan. Selalu ada banyak faktor yang terlibat dalam sebuah keputusan hakim baik yang bersifat internal maupun eksternal. Faktor internal tentu saja yang berkaitan keyakinan religius, latar belakang etnis, pengetahuan hakim, dll. Sementara faktor eksternal bisa berupa suap, tekanan partai, tekanan politik, tekanan masa dll.

Oleh karenanya dikatakan sebuah keputusan yang ditetapkan hakim bisa saja mengalami bias dan sarat dengan kepentingan-kepentingan dan dipengaruhi berbagai faktor internal dan eksternal tertentu. Kenyataan tersebut dideskripsikan dalam ungkapan berikut, “Al ken tafug torah we lo yetse lanetsakh mishpat, ki rasha makttir et ha tsaddiq ‘al ken yetse mishpat me’uqqal” (Itulah sebabnya hukum kehilangan kekuatannya dan tidak pernah muncul keadilan, sebab orang fasik mengepung orang benar; itulah sebabnya keadilan muncul terbalik) (Sefer Khabaqoq/Kitab Habakuk 1:14). Hukum dapat kehilangan kekuatannya dan keadilan tidak muncul bahkan terbalik munculnya hanyalah sebuah kondisi dan akibat dari sebuah sebab yaitu “makttir et ha tsaddiq” (orang fasik mengepung orang benar).

Berbicara perihal keputusan bias dalam peradilan, saya teringat pada sebuah kasus hukum di New Jersey tahun 1932 yang menimpa Richard Bruno Hauftman. Kasus fenomenal ini kemudian diangkat ke layar perak dengan judul, “Crime of the Century” (Kejahatan Abad Ini).

Film ini diangkat dari kisah nyata Richard Bruno Hauftman seorang imigram Jerman yang berprofesi sebagai tukang kayu yang dieksekusi pada tahun 1932 atas tuduhan membunuh bayi milik Charles Lindberg. Tudingan bermula dari ditemukannya uang sebesar 14.000$ yang diduga sisa tebusan. Saat diinterogasi polisi, Hauftman bersikukuh uang yang dia miliki diperoleh dari seorang teman yang pernah tinggal di rumahnnya dan mengajaknya berbisnis namun kedapatan mati di Jerman dengan meninggalkan sejumlah uang yang dalam kotak yang akhirnya dia pergunakan untuk keperluan sehari-hari.

Sekalipun tidak ada bukti apapun yang memperkuat dugaan namun pengacara Amerika berusaha mentersangkakan Hauftman dengan segala daya upaya. Bahkan intervensi gubernur yang peduli pada keadilan pun kandas membebaskan Hauftman dari jerat hukuman. Segala daya upaya untuk membujuk Hauftman agar mau mengaku dan terhindar dari hukuman mati pun diajukkan namun Hauftman menolak. Dia tidak mau dan tidak tahu harus mengakui apa yang tidak dia pernah lakukan yaitu membunuh bayi. Istrinya yang jujur dengan setia mendampinginya hingga proses eksekusi Hauftman. Dalam salah satu penggalan adegan di penjara, Hauftman mengatakan pada penyidiknya bahwa sekalipun tidak ada bukti yang menguatkan dirinya sebagai pelaku kejahatan namun kalian harus mencari seseorang yang dapat dihukum.

Pada bagian akhir film dipetik sebuah surat Richard Hauftman yang berbunyi, “Aku senang hidupku di dunia ini yang tidak memahamiku telah berakhir. Sebentarlagi aku akan pulang dengan Tuhanku. Karena aku sayang Tuhanku aku mati sebagai orang tidak bersalah. Mereka pikir saat aku mati, kasus ini juga akan mati. Mereka pikir ini seperti buku yang akan ditutup. Tapi buku itu tak akan pernah tertutup”.

Film ini adalah hasil kesaksian istrinya yang wafat pada tahun 1994 yang kemudian difilmkan tahun 1996. Keteguhan sikap Hauftman hingga akhir eksekusinya dengan mengabaikan berbagai tawaran agar meringankan hukumannya bahkan hanya sekedar hukuman seumur hidup bukan hanya mengejutkan semua yang terlibat dalam pengambilan keputusan di New Jersey tapi bagi penonton modern yang menyaksikannya.

Betapapun sebuah keputusan hakim dapat saja bersifat bias dan tidak memenuhi rasa keadilan, bukan berarti kita harus menolak dan menyerah serta tidak mempercayai begitu saja hakim dan sistem peradilan. Yang harus dilakukan oleh mereka yang merasa tidak mendapatkan keadilan adalah melakukan langkah dan upaya rasional dengan berjuang mencari keadilan baik melalui upaya banding dan kasasi hingga peninjauan kembali. Seperti sebuah pepatah, “Always do your best and let God do next” (Selalu melakukan yang terbaik dan biarkan Tuhan melakukan selanjutnya). Menyerah begitu saja dan menganggap semua yang kita alami sebagai sebuah takdir ataupun rencana Tuhan yang tidak bisa diubah berarti telah menempatkan Tuhan sebagai penanggungjawab terhadap semua ketidakadilan yang kita alami.

Namun demikian jika semua upaya yang telah diperjuangkan tetap tidak berhasil, sebuah keyakinan masih tetap harus kita hidupkan bahwa Tuhan adalah Hakim Yang Adil. Keyakinan itulah yang membuat kita menyadari batasan dan kemampuan kita menghadapi sebuah persoalan. Ada hal yang menjadi bagian yang kita harus perjuangkan secara maksimal dan rasional namun ada bagian yang hanya Dia, Hakim Yang Adil mampu lakukan dan kerjakan.

Bersikap seperti Yusuf dan bersikap seperti Ayub, menjauhkan kita dari purbasangka dan menjadikan Tuhan tetap sebagai Tuhan yang berkuasa atas keadaan. Yusuf berkata, “Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Tuhan telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar” (Kej 50:20). Ayub berkata, “Apakah kita mau menerima yang baik dari Tuhan, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (Ayb 2:10). Sebagaimana sebuah kata pepatah, “Life is like a piano, white and black. If God play it, all will be a beautiful melody” (Hidup seperti sebuah piano, berwarna putih dan hitam. Jika Tuhan memainkannya, maka akan menjadi melodi yang indah)

No comments:

Post a Comment