Sunday, November 20, 2011

REDEFINISI KONSEP HELENIS TENTANG EKSISTENSI TUHAN: KEESAAN ATAU KETRITUNGGALAN?

Konsep Tuhan dalam Kekristenan yang disifatkan dengan istilah Tritunggal atau Trinitas kerap menimbulkan kebingungan bukan hanya terhadap orang Kristen namun juga terhadap Muslim. Tidak mengherankan banyak orang Kristen yang berpalinng dari keimanannya dan Muslim terus menerus menuduh Kekristenan mempercayai Tuhan berbilang alias Politeis. Benarkah?

Letak persoalannya adalah bukan Tuhan yang diyakini oleh umat Kristen melainkan konsep dan pembahasaan Tuhan yang dirumuskan oleh umat Kristen berdasarkan rujukan Bapa Gereja yang menggunakan konsep dan terminologi (istilah) Helenis dan Filsafat, dengan menggunakan istilah Tritunggal telah meninggalkan jejak kebingungan menalar Tuhan.

Darimanakah istilah Tritunggal? Perlukan kita menggunakan istilah Tritunggal? Kekristenan mengungkapkan misteri relasi ontologis (hakikat) antara Bapa, Putra dan Roh Kudus, dengan istilah Tritunggal atau trinitas. Terminologi ini tidak tertulis dalam Kitab Suci. Istilah ini secara historis merupakan perspektif orang beriman Abad 2 Ms. Abad 2 Ms merupakan perpindahan titik berat pola berteologia, dari teologia Palestina yang kontemplatif, menjadi Teologia Hellenis yang rasionalistik dan metafisik[1] Akibatnya, dibutuhkan suatu penjelasan yang rasional kepada kaum pagan Yunani, mengenai realitas Tuhan. Bernhard Lohse memberikan komentar, “Karena itu, sedikitpun tidak mengherankan bahwa gereja terkadang meraba-raba dalam upayanya memformulasikan imannya secara intelrktual dan konseptual kepada (Tuhan) Bapa, (Yesus Sang Mesias) dan Roh Kudus”[2]. Sejumlah teolog dan Bapa Gereja (Church Fathers) yang telah lebih dahulu menggumuli persoalan relasi ontologis antara Bapa, Putra dan Roh Kudus, adalah Yustinus martyr, Theophilus dari Anthiokhia, Adamatinus , Origenes, Arius, Athanisius, Agustinus serta Tertulianus.

Dari sekian teolog yang merumuskan formula relasi intologis antara Bapa, Putra dan Roh Kudus, adalah tertulianus. Beliau merumuskan dalam bentuk ungkapan Yunani, “Mono Ousia Tress Hypostasis” atau dalam ungkapan Latin, “Una Substantiae Tress Persona”, yang jika diterjemahkan adalah, “Satu Keberadaan Tiga pribadi”. DR. Harun Hadiwyono mensinyalir ada pengaruh Filsafat Platonik tentang konsep “Divine nature” (Tabiat Ketuhanan) dalam perumusan konsep Trinitas[3]

Hampir semua teolog mengakui bahwa istilah Trinitas/Tritunggal, tidak terdapat secara literal dalam Kitab Suci. Namun essensi yang mengarah pada pengertian tersebut memang terpampang dalam banyak ayat. DR. Andar Tobing, mengakui kenyataan tersebut dan mengatakan: “kita terpaksa memakai istilah Trinitas itu untuk menolak adjaran-adjaran dan pendapat-pendapat yang salah dan bertentangan dengan isi Alkitab. Biarpun istilah itu tidak sempurna…”[4]. DR.Budyanto mengusulkan suatu peninjauan kembali terhadap penggunaan istilah “Pribadi” dengan mengatakan: “Karena itu, menurut hemat penulis, kalau istilah ini pada akhirnya tidak dapat dihindarkan lagi, sebaiknya pengertian yang dipakai untuk istilah pribadi adalah, ‘suatu keberadaan sadar diri’ yang maknanya bisa menampung pengertian-pengertian tersebut (cat: “pribadi”, “Cara Berada”, “Tiga Subyektivitas dalam Unitas”, dll)… jika pengertian ‘pribadi’ itu seperti itu, maka pengertian pribadi yang dipakai sebagai bukti (ketuhanan) seperti diatas adalah tidak tepat, sebab kata pribadi itu justru dipakai untuk menunjukkan kekhususan dari sifat masing-masing, bukan kesamaan sifat”[5].

Kitab TaNaKh dan Kitab Perjanjian Baru konsisten mempergunakan istilah Keesaan dan tidan pernah sekalipun menuliskan Ketritunggalan sekalipun frasa Bapa, Anak, Roh Kudus muncul.

Selayaknya istilah yang dipergunakan untuk menyifatkan Tuhan adalah KEESAAN BAPA-ANAK-ROH KUDUS. Mengapa digunakan istilah “Keesaan Bapa, Putra, dan Roh Kudus?”. Pertama, istilah Keesaan adalah istilah yang firmaniah dan secara literal tertulis dalam TaNaKh dan Kitab Perjanjian Baru. Ortodoksi Yudaisme, sebagai akar Kekristenan mendasarkan pada “Shema yang berbunyi, “Shema Yisrael, YHWH Eloheinu YHWH Ekhad” (Dengarlah Israel, YHWH itu Tuhan kita, YHWH itu Esa”,Ul 6:4)[6] Rabbi Hayim Ha Levy Donin, memberikan keterangan: “The Shema is declaration of faith, a pledge of allegiance to One God, an affirmation of Judaism. It is the first prayer that children are taught to say”[7] (Shema adalah pernyataan iman, ikrar kesetiaan kepada Tuhan yang Esa, sebuah penegasan mengenai Yudaisme. Ini adalah doa pertama yang diajarkan kepada seorang anak).


Dalam Kitab Perjanjian Baru, Yesus kembali mengutip Shema (Mrk 12:29). Berulang kali, dalam suratnya, Rasul Paul mengungkapkan sebutan Bapa, Putra, Roh Kudus bersamaan dengan kata Esa (1 Tim 1:17, 1 Tim 2:5-6, 1 Kor 8:5-6, Gal 3:20), demikian pula Rasul Yohanes menyebutkan mengenai keesaan (Yoh 5:45) serta rasul Yudas (Yud 1:25). Secara literal, istilah “Keesaan” adalah Firmaniah atau Skriptural. Kedua, makna Keesaan dalam sudut pandang Skriptural adalah bahwa orang beriman harus menyembah kepada satu-satunya Tuhan yang benar, yaitu Bapa, Putra dan Roh Kudus serta bukan kepada Tuhan yang lain. Hanya Dia lah fokus ibadah (Ul 6:13), fokus kasih (Ul 11:1), fokus doa (Mzm 143:1), fokus pujian (Mzm 66:2). Jadi, kata “Ekhad”, bukan bermakna aritmetis semata namun bermakna metafisik. Tuhan yang mengatasi ruang dan waktu dan yang satu-satunya berhak menerima penyembahan. Ketiga, baik Bapa, Putra dan Roh Kudus adalah sehakikat, setara dalam kekekalan. Bapa, Putra dan Roh Kudus, keluar dari hakikat Bapa (Yoh 8:42, Yoh 15:26).

Sejak kekal sebelum adanya waktu, Tuhan YHWH telah bersama Firman dan Roh-Nya (Kej 1:1-3) dan serentak terlibat dalam penciptaan. Sang Firman adalah Daya Cipta Tuhan (Kej 1:3, Mzm 33:6) dan Roh memberikan kehidupan (Kej 2:7, Ayb 33:4).

Baik YHWH, Firman dan Roh bukanlah tiga melainkan satu. Karena Firman dan Roh berdiam bersama dalam kekekalan bersama YHWH (Yoh 1:1). Bukanlah tiga melainkan satu, karena Firman keluar dan datang dari hakikat Bapa (Yoh 8:42). Demikianpula Roh keluar dari Bapa (Yoh 15:26). Bukanlah tiga melainkan satu, karena Firman tidak diciptakan, melainkan menciptakan dan menyebabkan adanya ciptaan (Mzm 33:6, Yoh 1:3, Kol 1:16). Demikian pula Roh Kudus yang menyebabkan semua ciptaan menjadi hidup dan bernafas (Ayub 34:14).

Bukan pula tiga pribadi melainkan satu pribadi dengan tiga karya dan manifestasi kuasa. Mengapa satu pribadi ? Bapa, Putra dan Roh Kudus (YHWH, Firman-Nya, Roh-Nya) adalah satu pribadi dalam kekekalan, karena yang satu tidak ada dan diadakan lebih dahulu oleh yang lain. Kata “satu” dalam ulasan ini bukan bermakna aritmetik melainkan ontologik, karena kita sedang membicarakan Tuhan yang mengatasi dan berada didalam segala sesuatu yang Dia ciptakan. Sekalipun disebut satu pribadi namun bukan berarti keberbedaan antara YHWH, Firman dan Roh-Nya atau Bapa, Anak Roh Kudus ditiadakan. Bapa bukan Anak bukan Roh Kudus namun bukan bermakna yang berbeda. Inilah misteri dan paradox Ketuhanan.

Tuhan yang Esa, yang dalam zaman hidup nabi-nabi di Perjanjian Lama, dikenal dengan nama YHWH (Yahweh, Kel 3:15), maka dalam Perjanjian Baru telah menyatakan diri-Nya kepada manusia (Ibr 1:3), melalui Firman-Nya yang menjadi manusia (Yoh 1:1,14) serta mengambil rupa manusia (Fil 2:7) yang bernama, Yesus (Mat 1:21) serta mengajar manusia melaluii Roh-Nya yang berdiam dalam diri orang beriman (Yoh 14:16-17).

YHWH disebut sebagai Bapa Surgawi (Yes 64:8, Mat 6:9) dan Pencipta Langit serta Bumi (Yes 40:28, Mzm 121:1-2). Yesus disebut sebagai Putera Tuhan (Mat 16:16). Roh Bapa atau Roh YHWH, disebut juga Roh Kudus atau Roh kebenaran (Yoh 14:26, Yoh 15:26).

Inilah misteri Ketuhanan yang disingkapkan pada kita, Keesaan Bapa Anak Roh Kudus. Terpujilah YHWH Tuhan kita di dalam Yesus Sang Mesias beserta Roh-Nya yang Kudus.



 -----------
[1] Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, BPK 1994, hal 51


[2] Ibid., hal 50


[3] Apa dan Siapakah Tuhan Allah ?, BPK, 1974, hal 50-51


[4] Apologetika tentang Trinitas, BPK, 1972, hal 31


[5] Mempertimbangkan Ulang Ajaran tentang Trinitas, TPK, 2001, hal 63

[6] Biblia Hebraica Stuttgartensia, (Deutsche Bibelgesellschaft Stuttgart) 1990.

[7] To Pray As A Jew, Basic Books, p.144

No comments:

Post a Comment