Rabi Hillel dan Rabi Shammai adalah dua orang guru Torah dan orang bijaksana terkemuka yang
hidup diakhir Abad 1 sM dan
awal Abad 1 Ms. Kedua pemikiran mereka berdua kerap berbeda mengenai penafsiran
dan aplikasi Torah sehingga melahirkan dua sekolah berbeda mazhab yaitu Bet Hillel dan Bet Shamai.
Perdebatan yang
terjadi diantara sekolah-sekolah ini mengenai masalah-masalah praktek ritual, etika, dan
teologi yang
secara kritis membentuk Hukum Lisan dan Yudaisme
seperti saat ini. Bukan hanya berbeda mazhab namun
diantara keduanya ada perbedaan karakter. Talmud melaporkan sebuah peristiwa
pertemuan antara seorang kafir Romawi dengan Hillel dan Shamai dalam Mishnah
Shabat 31a sbb: “Seorang penyembah
berhala mendatangi Shamai dan berkata kepadanya, ‘Buatlah aku menjadi seorang
Proselite (orang yang mengikut agama Yudaisme), namun dengan syarat bahwa
engkau mengajarkan kepadaku keseluruhan Torah, sementara Aku berdiri pada salah
satu kaki! Shammai mengusirnya dengan tongkat pengukur bangunan di tangannya.
Ketika penyembah berhala tersebut menemui Hillel, dan mengucapkan perkataan
yang sama, maka Hillel menjawabnya, ‘Apa yang kamu benci, janganlah kamu
melakukannya pada sesamamu. Inilah keseluruhan Torah. Sisanya hanyalah
penjelasan. Pergi dan lakukanlah!”.
Rasul Paul mengatakan bahwa dirinya
telah ditetapkan Yesus sebagai Pemberita (Yun, keruz – Ibr, magid),
Rasul (Yun, apostolos – Ibr, shaliakh) dan Guru (Yun, didaskalos – Ibr, moreh). Namun beliau bukan hanya menunjukkan statusnya tersebut
dengan menjadi seorang guru yang ingin dihormati melainkan memberikan teladan
perilaku dengan
berkata, “Itulah sebabnya aku menderita
semuanya ini, tetapi aku tidak malu…”(2 Tim 1:12).
Sebagaimana Rabi Hillel
yang bijaksana dan Rabi Paul yang tangguh dalam penderitan, marilah kita semua
yang saat ini memiliki kedudukan sebagai pengajar, pendidik, rohaniawan,
pengerja gereja, penatua harus memiliki bukan saja kompetensi dalam penguasaan
Kitab Suci dan hukum-hukum Tuhan namun harus menambahkan kebijaksanaan dan
keteladanan sebagai penyerta dan penyempurna pengajaran yang kita berikan.
Kearifan
lokal Jawa pun mengharuskan seorang guru bukan hanya memiliki kemampuan
intelektual (parama sastra, parama kawi,
mardi basa) tapi juga kemampuan moral dan spiritual (mandraguna dan nawung krida) sebagaimana dikatakan dalam Serat Wulang Reh karya Sunan Pakubuwana IV dari Surakarta. Berbagai kemampuan dan kompetensi yang harus dimiliki seorang guru antara lain:
1. Parama sastra, yakni pandai tata bahasa;
2. Parama kawi, yakni pandai berbahasa kawi (kesusastraan);
3. Mardi basa, yakni pandai mengolah kata-kata, pandai bersiasat;
4. Mardi walagu, yakni pandai memperindah irama lagu;
5. Hadi carita, yakni pandai bercerita, berbicara untuk meyakinkan orang lain;
6. Mandraguna, yakni kaya akan kepandaian;
7. Nawung krida, yakni tajam penglihatan batinnya, kuat analisisnya; dan
8. Sambegana, artinya kuat daya ingatnya.
2. Parama kawi, yakni pandai berbahasa kawi (kesusastraan);
3. Mardi basa, yakni pandai mengolah kata-kata, pandai bersiasat;
4. Mardi walagu, yakni pandai memperindah irama lagu;
5. Hadi carita, yakni pandai bercerita, berbicara untuk meyakinkan orang lain;
6. Mandraguna, yakni kaya akan kepandaian;
7. Nawung krida, yakni tajam penglihatan batinnya, kuat analisisnya; dan
8. Sambegana, artinya kuat daya ingatnya.
Carilah guru yang bukan hanya memberikan kita pengetahuan yang bersifat kognitif namun mampu menjadi teladan dalam menjalani kehidupan secara arif dan bijaksana.
No comments:
Post a Comment