Tuesday, June 12, 2018

MENYUCIKAN NAMA-NYA ATAU MELARANG MENYEBUT NAMA-NYA?


Bagi anak-anak atau remaja tahun 2000-an awal tentu sangat akrab dengan novel dan film Harry Potter karya novelis J.K. Rowling. Selain nama penyihir cilik Harry Potter dan kedua temannya sebagai tokoh utama ada juga tokoh antagonis bernama Lord Voldemort
Lord Voldemort  digambarkan sebagai tokoh yang sangat jahat, kejam, licik, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Terlahir dengan nama Tom Marvolo Riddle, Voldemort dikenal sebagai salah satu siswa Hogwarts yang paling cemerlang di masanya. Tidak heran, ia sangat hebat dalam sihir dan ditakuti oleh nyaris seluruh penyihir hingga titik di mana rakyat sihir takut untuk menyebut namanya. Sehingga, Voldemort kerap disebut sebagai You-Know-Who (Kau-Tahu-Siapa), Dark Lord (Pangeran Kegelapan), atau He-Who-Must-Not-Be-Named (Dia Yang Namanya Tak Boleh Disebut).

Entahkah J.K. Rowling terinspirasi dengan sikap penganut Yudaisme yang menghindari nama Tuhan sehingga setiap membaca tulisan Ibrani YHWH diucapkan Adonai (Tuan) atau Ha Shem (Sang Nama) atau hendak menjadikannya sebagai lelucon dan serangan terhadap kepercayaan Yudaisme dengan mengidentifikasi tradisi penyucian nama Tuhan (Kiddush Ha Shem) sehingga menghindari penyebutan nama-Nya di muka publik karena dianggap menodai kesucian nama-Nya (Khilul Ha Shem)? Hanya Rowling yang tahu pasti jawabannya.
Larangan mengucapkan nama Lord Voldemort mengingatkan sebuah tradisi dan fatwa rabinik untuk tidak mengucapkan nama Tuhan dimuka publik dengan melakukan interpretasi teks Keluaran 20:7 yang berbunyi, “Lo tissa et shem YHWH Eloheika lashaw” yang artinya “jangan menyebut nama YHWH Tuhanmu dengan sembarangan”. Apakah perintah tersebut melarang kita untuk mengucapkan nama Yahweh secara audible atau terdengar oleh telinga?
Ayat di atas dimaknai oleh orang-orang Yahudi setelah mereka pulang dari pembuangan Babilonia sehingga para rabi mereka memutuskan untuk tidak menyebut nama Yahweh ketika membaca Kitab Suci atau berkotbah namun menggantikannya dengan sapaan penghormatan Adonai (Tuan) dan Ha Shem (Nama Itu). Sumber larangan berasal dari Talmud yang mengatakan, “…di tempat suci, seseorang mengucapkan Sang Nama sebagaimana tertulis, namun di luar tempat itu, harus dengan bentuk euphemisme” (Misnah Sotah 7:6; Berakhot Sotah 38b; Misnah Tamid 7:2).
Rabi Moshe Maimonides (Rambam) dalam Misheh Torah mengatakan, “Tidak saja sumpah palsu yang dilarang, tetapi juga adalah dilarang untuk menyebut salah satu dari nama yang ditetapkan untuk Tuhan dengan sembarangan, meskipun seseorang tidak melakukan suatu sumpah. Karena ketentuan ayat ini memerintahkan kita: untuk menghormati nama yang mulia dan dahsyat”. Termasuk penghormatan dalam hal untuk tidak menyebutnya dengan sembarangan” (Laws of Oath 12:11). 
Terlepas dari interpretasi rabi-rabi dalam Yudaisme, jika kita perhatikan dengan seksama larangan Lo tissa et shem YHWH Eloheika lashaw”  adalah agar kita jangan sembarangan mempergunakan nama YHWH seperti bersumpah palsu demi namanya sebagaimana dikatakan dalam Keluaran 19:12 “Janganlah kamu bersumpah dusta demi nama-Ku, supaya engkau jangan melanggar kekudusan nama Tuhanmu; Akulah YHWH”.
Jika diperluas maknanya menjadi larangan untuk mengucapkan namanya di ruang publik tentu bertentangan dengan teks-teks lainnya yang memerintahkan agar kita memanggil nama-Nya sebagaimana dikatakan dalam 1 Tawarik 16:8, “Bersyukurlah kepada YHWH, panggillah nama-Nya, perkenalkanlah perbuatan-Nya di antara bangsa-bangsa!”. Bahkan dikatakan, “...kesukaan kami ialah menyebut nama-Mu dan mengingat Engkau” (Yes 26:8).
Demikian pula Daud memberikan teladan, “Aku akan memasyhurkan nama-Mu kepada saudara-saudaraku dan memuji-muji  Engkau di tengah-tengah jemaah” (Mzm 22:22). Jika nama-Nya berkuasa, mengapa kita tidak memanggil dengan nama-Nya?

No comments:

Post a Comment