Thursday, December 5, 2019

JANGAN MENYEBUT "KAFIR" DAN "JAHIL?"


Kata “kafir” dan “jahil” dalam Matius 5:22 dalam terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) sesungguhnya “jauh panggang dari api” alias tidak tepat sama sekali dengan teks aslinya yang berbunyi “Raka” (bahasa Aramaik) yang artinya “isi kepala kosong” dan “Moore” (bahasa Yunani) yang artinya, “kebodohan”. 

Teks berbahasa Inggris menerjemahkan secara berbeda-beda. Kata Aramaik “Raka” diterjemahkan “Empty fellow” (YLT), “You good for nothing” (CJB), “Raca” (KJV dan NIV). Sementara kata Yunani “Moore” diterjemahkan, “Rebel” (YLT), “Fool” (CJB), “Thou fool” (KJV). 

Dari analisis teks dalam bahasa Yunani dan Aramaik tidak ada satupun dukungan terhadap terjemahan LAI yang menerjemahkan “Raka” dengan “Kafir” dan “Moore” dengan “Jahil”. Nampaknya LAI melakukan proses terjemahan dinamis (sebagai lawan terjemahan literalis) di mana kata-kata umpatan yang relevan dan kerap dimaknai sebagai sebuah bentuk hujatan biasanya adalah sebutan "kafir".

Baiklah kita tinggalkan perihal analisis teks Yunani dan problem terjemahannya dalam bahasa Indonesia. 

Lantas apa makna pernyataan Yesus saat berkata, “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Raka (bodoh) harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Moore (bodoh)! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala?” (Mat 5:22).  

Pernyataan Yesus ini berkaitan dengan adanya pemahaman banal (dangkal) dan letterleck (hurufiah) bahwa membunuh hanyalah menghilangkan nyawa seseorang sehingga Yeshua berkata, “Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum” (Mat 5:21). 

Membunuh itu bukan hanya sebatas melakukan kekerasan dan menghilangkan nyawa seseorang secara fisik belaka melainkan mengucapkan kata-kata jahat dan mematikkan dengan merusak gambar diri seseorang di hadapan orang lain. 

Dalam konteks zaman Yesus, kata Aramaik Raka dan kata Yunani Moore merupakan julukkan yang menyakitkan. Tentu saja dalam konteks kekinian, bangsa kita memiliki sejumlah istilah dan julukkan yang merendahkan dan menjatuhkan seseorang di hadapan publik. Dan itulah yang seharusnya dihindari dan tidak diucapkan pada seseorang saat kita marah, karena kata-kata demikian bukan hanya menyakitkan namun mematikkan harga diri dan martabat seseorang sebagaimana ungkapan sebuah pepatah, “lidah setajam buluh sembilu?”

No comments:

Post a Comment