Saturday, December 21, 2019

KETIKA ANAK-ANAK KITA BERUBAH


Kahlil Gibran, seorang penyair terkemuka dari Libanon dan seorang Kristen Moronit, dalam masterpiecenya yang berjudul The Prophet (Sang Nabi) yaitu kumpulan puisi-puisi terbaiknya  menuliskan puisinya tentang anak sbb:

Anakmu bukanlah milikmu,
mereka adalah putra putri sang Hidup,
yang rindu akan dirinya sendiri.

Mereka lahir lewat engkau,
tetapi bukan dari engkau,
mereka ada padamu, tetapi bukanlah milikmu.

Berikanlah mereka kasih sayangmu,
namun jangan sodorkan pemikiranmu,
sebab pada mereka ada alam pikirannya sendiri.

Patut kau berikan rumah bagi raganya,
namun tidak bagi jiwanya,
sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,
yang tiada dapat kau kunjungi,
sekalipun dalam mimpimu.

Engkau boleh berusaha menyerupai mereka,
namun jangan membuat mereka menyerupaimu,
sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
ataupun tenggelam ke masa lampau.

Engkaulah busur asal anakmu,
anak panah hidup, melesat pergi.

Sang Pemanah membidik sasaran keabadian,
Dia merentangkanmu dengan kuasaNya,
hingga anak panah itu melesat jauh dan cepat.

Bersukacitalah dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat,
sebagaimana dikasihiNya pula busur yang mantap.

Sebagai seorang Kristiani, kita memiliki tugas dan kewajiban memperkenalkan kepada mereka perihal Ketuhanan dan hukum moral agar mereka hidup di jalan yang dikehendaki Tuhan (Ul 6:4-10). Agar jangan sampai lahir generasi yang tidak mengenal Tuhan yang disembah orang tuanya atau leluhurnya (Hak 2:10).

Namun perintah Tuhan tersebut bukan untuk membelenggu mereka agar tidak menjadi dirinya sendiri. Kita hanya berkewajiban untuk mengajarkan prinsip-prinsip keimanan agar mereka mampu menghadapi kehidupan yang keras dan kejam dengan melandaskan pada nilai-nilai kebenaran.

Mereka berhak memilih bentuk kehidupan apapun yang mereka kehendaki. Menjadi seniman, pendidik, chef, militer, pengusaha, asalkan bukan menjadi pendosa.

Namun tidak dapat dipungkiri betapa anak-anak kita belum tentu sebagaimana yang kita inginkan. Mungkin mereka membuat kecewa ataupun membuat kita kuatir dan bersedih dengan sejumlah tindakkan dan pilihan yang diambilnya hari ini. Mereka yang dahulu kita gendong dan manjakan saat ini mengalami pertumbuhan dan perkembangan serta mulai kehilangan keluncuannya.

Kisah Ayub dapat menjadi suri tauladan bagi para orang tua untuk menghadapi situasi-situasi yang mungkin tidak terkendali dan di luar kemampuan kita.

"Setiap kali, apabila hari-hari pesta telah berlalu, Ayub memanggil mereka, dan menguduskan mereka; keesokan harinya, pagi-pagi, bangunlah Ayub, lalu mempersembahkan korban bakaran sebanyak jumlah mereka sekalian, sebab pikirnya: "Mungkin anak-anakku sudah berbuat dosa dan telah mengutuki Tuhan di dalam hati." Demikianlah dilakukan Ayub senantiasa" (Ayb 1:5)

Tiada lain, doa-doa yang kita naikkan setiap hari ditujukkan pada anak-anak kita agar mereka dikuduskan, dilindungi, diberkati, diampuni jika ada kesalahan-kesalahan yang dilakukan.

Nasihat dan ucapan bisa membosankan namun doa-doa bisa mengerjakan hal yang melampaui yang kita fikirkan. Bukankah Monica baru merasakan keberhasilan doanya selama 17 tahun sehingga mengubahkan Agustinus yang kelak menjadi Uskup di Hippo Regius dan penulis buku De Civitate Dei (Kota Tuhan)

1 comment: