Perayaan ha Matsah (roti tidak beragi) menunjuk pada peristiwa historis
dimana nenek moyang Yisrael memakan roti
tidak beragi selama perjalanan menuju Laut Teberau setelah meninggalkan negeri Mesir negeri perbudakan
mereka. Pelaksanaan makan roti tidak beragi
selama satu minggu (Im 23:6-8). Dalam Perjanjian Baru menunjuk
penguburan Yesus selama
tiga hari tiga malam di rahim bumi. Rasul Paul menggemakan kembali
makna perayaan Roti Tidak Beragi sebagai
refleksi jemaat Kristen untuk membuang berbagai kejahatan dan kefasikan dalam
hidup sebagaimana dikatakan: “Karena itu
marilah kita berpesta, bukan dengan ragi yang lama, bukan pula dengan ragi
keburukan dan kejahatan, tetapi dengan roti yang tidak beragi, yaitu kemurnian
dan kebenaran” (1 Kor 5:8).
Ragi
dipergunakan untuk membusukkan makanan atau mengembangkan sebuah adonan untuk
dimasak menjadi roti. Ragi kerap menjadi simbol
dosa karena sifatnya yang membusukkan seperti dikatakan: “Karena
itu marilah kita berpesta, bukan dengan ragi yang lama, bukan pula dengan ragi
keburukan dan kejahatan, tetapi dengan roti yang tidak beragi, yaitu kemurnian
dan kebenaran” (1 Kor 5:8). Ragi menjadi simbol pengaruh
yang tidak baik karena sifatnya yang dapat mengubah suatu bentuk kepada
bentuk yang lain sebagaimana dikatakan: “Sedikit
ragi sudah mengkhamirkan seluruh adonan” (Gal 5:9).
Namun demikian dalam salah satu kesempatan
dimana Yesus memberikan gambaran mengenai Kerajaan Sorga, Dia menggunakan
perumpamaan ragi untuk menjelaskan sifat ragi yang membuat pengaruh yang cepat dan kuat sebagaimana dikatakan:
“Dan
Ia berkata lagi: "Dengan apakah Aku akan mengumpamakan Kerajaan
Tuhan? Ia seumpama ragi yang diambil
seorang perempuan dan diadukkan ke dalam tepung terigu tiga sukat sampai khamir
seluruhnya” (Luk 13:20-21). Dalam konteks
perikop ini, “ragi” yang dimaksudkan adalah “ajaran” orang Farisi dan Saduki
sebagaimana dikatakan dalam Matius 16:11 sbb: “Ketika
itu barulah mereka mengerti bahwa bukan maksud-Nya supaya mereka waspada
terhadap ragi roti, melainkan terhadap ajaran orang Farisi dan Saduki”.
No comments:
Post a Comment