Kisah Rasul
17:16-34
Oleh:
Pdt. Teguh Hindarto, S.Sos., MTh.
Agnostho Theo
Dikisahkan, inskripsi Agnosto Theo dipahatkan atas petunjuk
filsuf Epimenides, ketika bangsa Athena menghadapi bencana wabah yang
mematikan. Rakyat Athena sudah meminta tolong kepada ribuan dewa yang
patung-patungnya dideretkan di sekitar bukit Mars, tetapi hasilnya nihil. Wabah
itu tetap melanda. Epimenides yang seorang Kreta, diminta oleh para tua-tua
Athena untuk mengadakan perdamaian dengan salah satu dewa lagi. Hal ini sebenarnya
aneh mengingat reputasi orang Atena sebagai para penyembah berhala dan
politeistik. Epimenides berkata lantang, “Kalau
ribuan dewa ini tidak mejawab doa-doa kita, kesimpulan logis saya, pastilah ada
satu-satunya Dewa yang Mahakuasa, yang entahlah, kita tidak ahu siapa nama-Nya.
Ya, kita benar-benar tidak mengenal Dia, yang namanya tidak kita ketahui, dan
oleh karena itu tidak ada patung di kota ini yang mewakilinya. Yang kedua,
bahwa Dia cukup berkuasa dan cukup baik hati untuk meredakan wabah ini, asal
kita memohon bantuannya.".
Kemudian Sang filsuf
mengajak seluruh rakyat Athena memohon pertolongan dewa yang tidak dikenal itu.
Akhir cerita orang-orang Athena membangun altar di Bukit Mars dengan memahatkan
kata-kata Agnosto Theo pada sisi
altar sesuai anjuran Epimenides. Kemudian setiap domba yang "sudah
dibaktikan" itu mereka persembahkan sebagai kurban di atas altar yang
menandai tempat hewan itu berbaring. Malam pun tiba. Pada waktu fajar keesokan
harinya, cengkeraman maut wabah terhadap kota itu mulai melonggar. Dan dalam
waktu seminggu orang-orang yang kena wabah itu berangsur-angsur sembuh.
Penduduk Athena tak henti-hentinya memuji "Tuhan
yang tidak dikenal" yang diperkenalkan oleh Epimenides itu.
Beberapa ratus tahun
kemudian seorang rasul Yahshua yaitu Paulus diutus ke Athena dan dengan hikmat
Tuhan dia menjembatani dan menghantarkan orang-orang Athena untuk mengenal
“Tuhan yang tidak dikenal” (agnostho theo)
tersebut (Kis 17:23). Sekalipun ada yang menolak (Kis 17:33) namun ada pula
yang menerima pemberitaan Paulus (Kis 17:34). Pelajaran yang dapat kita petik
dari narasi Kisah Rasul 17 bahwa dalam mewartakan Injil, kita harus jeli
memahami latar belakang sejarah dan konsep-konsep keagamaan masyarakat sehingga
kita bisa membangun jembatan kebudayaan untuk mewartakan mengenai kabar
keselamatan tanpa harus mendistorsinya.
Dalam
bahasa Teologia Misi, apa yang dilakukan Rasul Paul bisa diistilahkan dengan kontekstualisasi. Kontekstualisasi
bermakna mewartakan pesan Injil sesuai konteks sosial budaya setempat sehingga
dengan mudah diterima dan penerima tidak merasa menjadi orang yang asing dan
tercerabut dari kebudayaannya. Bentuk-bentuk kontekstualisasi bisa berupa akomodasi, akulturasi, inkulturasi,
indigenisasi. Jika akomodasi
berbicara perihal pertemuan dua kebudayaan yang berjalan berdampingan maka akulturasi adalah penggabungan dua
kebudayaan menghasilkan bentuk baru kebudayaan sementara inkulturasi adalah memasukkan nilai-nilai dan pesan keagamaan dalam
kebudayaan. Istilah indigenisasi lebih
pada pembrimubian kebudayaan luar ke dalam kebudayaan setempat.
Karena
pemberitaan Injil bersifat “cross cultural” (lintas budaya) sebagaimana
terefleksi dari pembacaan Kisah Rasul 1:8, “mulai
dari Yerusalem, Yudea, Samaria, hingga ujung bumi” maka, “Injil dalam operasinya sangat berhubungan
dengan budaya dan konteks di mana kelompok orang suatu budaya berada” (DR.
Y. Tomatala, D.Mis., Teologi
Kontekstualisasi: Suatu Pengantar, 2000:46). Oleh karenanya diperlukan
sebuah upaya pendekatan kebudayaan saat mewartakan Injil agar lebih mudah
diterima dalam konteks kebudayaan penerima Injil. Masih menurut Tomatala
bahwasanya ada trialektis yang harus dijaga keseimbangannya agar pesan
pewartaan menjadi efektif yaitu: konteks pemberita Injil, konteks Injil yang
diberitakan (Hebraic-Helenistic) dan konteks pendengar atau penerima Injil
(Ibid.,hal 3). Tanpa pemahaman yang benar tentang budaya setempat dan pengetahuan
mengomunikasikan Injil agar aktual dan relevan, maka yang terjadi adalah
menjadikan seseorang menjadi pengikut Yesus Sang Mesias namun yang tercerabut
dari kebudayaannya dan menjadi pengikut budaya darimana pemberita mewartakan
Injilnya.
Demikian
pula dengan visi Back to Hebraic Root (kembali
ke akar Ibrani) yang dipioniri oleh kalangan Messianic Judaism di Eropa yang telah merambah sampai ke Asia
termasuk Indonesia dengan sebuah pesan kepada gereja-gereja untuk memahami
sabda Yesus dan tulisan rasul-rasul dalam kultur semitik yudaik, masih kerap
dipahami tanpa sebuah pengetahuan yang utuh oleh komunitas Kristen di
Indonesia, sehingga yang terjadi dan terbaca oleh kekristenan arus utama bahwa
komunitas Kristen yang memiliki visi Back to Hebraic Root terkesan berusaha
menyahudikan orang Kristen dengan simbol-simbol Yudaisme dan Yahudi seperti
penggunaan tallit berwarna putih biru, penggunaan kipah, penggunaan shofar,
memasukkan adat istiadat Yahudi dalam prosesi pernikahan Kristiani dll.
Cara pandang Yunani, Haruskah Dibuang?
Kontribusi Messianic Judaism terhadap Kekristenan saat ini adalah menyadarkan
kita untuk menafsirkan sabda Yesus dan teks Perjanjian Baru dengan melibatkan
“Hebraic Mindset” (cara pandang Ibrani). Tim Hegg menjelaskan perihal “Hebraic
Mindset” sbb: “Berpikir secara Ibrani
berarti berpikir sebagaimana orang Ibrani berpikir pada zaman lampau. Mengapa
hal ini demikian penting? Karena sebagain besar isi Kitab Suci, dituliskan oleh
orang-orang Ibrani. Sebenarnya, hanya Lukas dari keseluruhan penulis Kitab Suci
yang bukan seorang Yahudi berdasarkan kelahirannya (setidaknya menurut pendapat
sarjana modern). Agar kita dapat memahami yaitu cara berbicara, mengenai
kata-kata yang dipergunakan serta pentingnya persoalan-persoalan kehidupan yang
digambarkan oleh seseorang dalam kebudayaan Ibrani, maka kita harus memahami
dengan istilah umum, mengenai bagaimana orang Ibrani berpikir, bagaimana mereka
melihat kehidupan - pandangan dunia yang mereka miliki” (Interpreting the Bible: An Introduction to
Hermeneutics, Distance Learning Yeshiva, 2000, p. 20).
Namun demikian apalah lantas kita membuang
“Helenistic Mindset?” (cara pandang Yunani)? Saya tidak sependapat bahwa cara
pandang Yunani dibuang begitu saja. Yang harus dibuang adalah paradigma dan
kecenderungan untuk menggunakan cara pandang Helenis (Yunani) untuk memahami
pikiran Kitab Suci yang ditulis oleh orang Ibrani dengan struktur khas Ibrani,
karena jika paradigma ini tetap dilestarikan maka akan semakin mendistorsi
pemahaman kita terhadap sejumlah teks dan peristiwa historis dalam Kitab Suci.
Kita cukup mengetahui cara pandang Yunani itu apa (sebaik kita mengetahui cara
pandang suatu kebudayaan yang menjadi latar belakang kita) dan mencari celah
untuk mewartakan Kabar Baik itu dalam bingkai apapun termasuk kebudayaan Yunani
(termasuk kebudayaan Indonesia) tanpa menghilangkan essensi dan akar berita
yang kita bawa. Karena Rasul Paul telah memberikan teladan, bagaimana dia
mempelajari sastra dan filsafat Yunani sehingga dalam beberapa suratnya dia
mengutip tulisan-tulisan filsuf Yunani untuk menemukan celah mewartakan Kabar
Baik.
1.
Mengutip Sajak Epimenides: αγνωστω θεω
(Agnostho Theo, Kis 17:23)
2.
Mengutip Sajak Aratus/Cleanthes: του γαρ
και γενος εσμεν (Tou gar kai henos esmen,Kis 17:28)
3.
Mengutip Sajak Menander: φθειρουσιν ηθη
χρηστα χρησθ ομιλιαι κακαι (Phtheirousin hethe chresth homiliai kakai, 1 Kor
15:33)
4.
Mengutip Sajak Epimenides dari Kreta:
κρητες αει ψευσται κακα θηρια γαστερες αργαι (Kretes aei pseustai kaka theria
gasteres argai, Tit 1:12)
Grebheg Sukot Sebagai Model Akulturasi
Berangkat dari pemahaman perihal
pentingnya mewartakan Injil dalam konteks budaya sebagaimana telah diteladankan
Rasul Paul (Kis 17:16-34), maka sejak tahun 2008 melalui wadah organisasi non
formal Forum Studi Mesianika (FSM)
yang kemudian pada tahun 2012 berganti menjadi Indonesian Judeochristianity Institute (IJI) untuk menampung
pokok-pokok ajaran yang saya namai Mazhab
Yudeo Kristen, maka saya memulai sebuah tradisi baru saat merayakan salah
satu sari tujuh perayaan yaitu Sukot atau Pondok Daun dengan mewajibkan setiap
anggota yang turut beribadah bersama untuk membawa buah-buahan beraneka jenis
dan ditaruh pada satu meja untuk kemudian saat berakhir ibadah dimakan
bersama-sama dengan sukacita.
Tradisi membawa buah dan memakannya
bersama-sama saya beri nama “Grebheg Sukot” dengan mengadaptasi kultur Yahudi
dan kultur Jawa. Grebheg adalah hasil
akulturasi para wali dan raja Jawa Islam yang dimulai sejak pemerintahan Demak
terhadap sejumlah perayaan perayaan keagamaan Islam yaitu Iedul Fitri (Grebheg
Syawal), Iedul Adha (Grebheg Besar), kelahiran Muhamad (Grebheg Mulud).
Sementara Sukkot dengan pernak pernik membangun rumah-rumahan dari kayu yang di
hiasai dengan buah-buahan hasil panen diadaptasi dari penganut Orthodox Judaism maupun Messianic Judaism atau Messianic Jewish. Kedua
ekspresi kebudayaan ini yaitu “grebheg” dan “buah-buahan” dijadikan budaya baru
dengan nama “Grebheg Sukkot” sebagai simbolisasi hal-hal berikut: (1) Ucapan
syukur pada Tuhan yang telah mengaruniakan Hari Raya Sukot (2) Mengingatkan
kita agar sebagai pengikut Yesus Anak Tuhan dan Mesias agar menghasilkan
buah-buah berupa pemikiran dan perilaku yang manis dan bermanfaat bagi banyak
orang (3) Simbolisasi pertemuan dua kebudayaan untuk memuliakan Tuhan YHWH yang
telah mengaruniakan Yahshua Putra-Nya dengan “berkemah” diantara umat manusia
dan menyelamatkan manusia dari kutuk dosa.
Kiranya tradisi “Grebheg Sukot” yang
dipopulerkan melalui pengajaran Mazhab Yudeo Kristen tetap dapat diteruskan dan
dilestarikan bukan hanya menjadi bagian dari penghayatan perayaan yang
ditetapkan Tuhan melainkan menjadi perayaan pertemuan kebudayaan untuk
mewartakan sukacita dibalik perayaan Pondok Daun (sukot).
No comments:
Post a Comment