Sunday, October 16, 2016

GREBHEG SUKKOT SEBAGAI BENTUK AKULTURASI DAN MEMBUMIKAN MAKNA TUJUH HARI RAYA YHWH DALAM KONTEKS LOKAL

Kisah Rasul 17:16-34

Oleh:

Pdt. Teguh Hindarto, S.Sos., MTh.


Agnostho Theo

Dikisahkan, inskripsi Agnosto Theo dipahatkan atas petunjuk filsuf Epimenides, ketika bangsa Athena menghadapi bencana wabah yang mematikan. Rakyat Athena sudah meminta tolong kepada ribuan dewa yang patung-patungnya dideretkan di sekitar bukit Mars, tetapi hasilnya nihil. Wabah itu tetap melanda. Epimenides yang seorang Kreta, diminta oleh para tua-tua Athena untuk mengadakan perdamaian dengan salah satu dewa lagi. Hal ini sebenarnya aneh mengingat reputasi orang Atena sebagai para penyembah berhala dan politeistik. Epimenides berkata lantang, “Kalau ribuan dewa ini tidak mejawab doa-doa kita, kesimpulan logis saya, pastilah ada satu-satunya Dewa yang Mahakuasa, yang entahlah, kita tidak ahu siapa nama-Nya. Ya, kita benar-benar tidak mengenal Dia, yang namanya tidak kita ketahui, dan oleh karena itu tidak ada patung di kota ini yang mewakilinya. Yang kedua, bahwa Dia cukup berkuasa dan cukup baik hati untuk meredakan wabah ini, asal kita memohon bantuannya.".

Kemudian Sang filsuf mengajak seluruh rakyat Athena memohon pertolongan dewa yang tidak dikenal itu. Akhir cerita orang-orang Athena membangun altar di Bukit Mars dengan memahatkan kata-kata Agnosto Theo pada sisi altar sesuai anjuran Epimenides. Kemudian setiap domba yang "sudah dibaktikan" itu mereka persembahkan sebagai kurban di atas altar yang menandai tempat hewan itu berbaring. Malam pun tiba. Pada waktu fajar keesokan harinya, cengkeraman maut wabah terhadap kota itu mulai melonggar. Dan dalam waktu seminggu orang-orang yang kena wabah itu berangsur-angsur sembuh. Penduduk Athena tak henti-hentinya memuji "Tuhan yang tidak dikenal" yang diperkenalkan oleh Epimenides itu.

Beberapa ratus tahun kemudian seorang rasul Yahshua yaitu Paulus diutus ke Athena dan dengan hikmat Tuhan dia menjembatani dan menghantarkan orang-orang Athena untuk mengenal “Tuhan yang tidak dikenal” (agnostho theo) tersebut (Kis 17:23). Sekalipun ada yang menolak (Kis 17:33) namun ada pula yang menerima pemberitaan Paulus (Kis 17:34). Pelajaran yang dapat kita petik dari narasi Kisah Rasul 17 bahwa dalam mewartakan Injil, kita harus jeli memahami latar belakang sejarah dan konsep-konsep keagamaan masyarakat sehingga kita bisa membangun jembatan kebudayaan untuk mewartakan mengenai kabar keselamatan tanpa harus mendistorsinya.

Dalam bahasa Teologia Misi, apa yang dilakukan Rasul Paul bisa diistilahkan dengan kontekstualisasi. Kontekstualisasi bermakna mewartakan pesan Injil sesuai konteks sosial budaya setempat sehingga dengan mudah diterima dan penerima tidak merasa menjadi orang yang asing dan tercerabut dari kebudayaannya. Bentuk-bentuk kontekstualisasi bisa berupa akomodasi, akulturasi, inkulturasi, indigenisasi. Jika akomodasi berbicara perihal pertemuan dua kebudayaan yang berjalan berdampingan maka akulturasi adalah penggabungan dua kebudayaan menghasilkan bentuk baru kebudayaan sementara inkulturasi adalah memasukkan nilai-nilai dan pesan keagamaan dalam kebudayaan. Istilah indigenisasi lebih pada pembrimubian kebudayaan luar ke dalam kebudayaan setempat.

Karena pemberitaan Injil bersifat “cross cultural” (lintas budaya) sebagaimana terefleksi dari pembacaan Kisah Rasul 1:8, “mulai dari Yerusalem, Yudea, Samaria, hingga ujung bumi” maka, “Injil dalam operasinya sangat berhubungan dengan budaya dan konteks di mana kelompok orang suatu budaya berada” (DR. Y. Tomatala, D.Mis., Teologi Kontekstualisasi: Suatu Pengantar, 2000:46). Oleh karenanya diperlukan sebuah upaya pendekatan kebudayaan saat mewartakan Injil agar lebih mudah diterima dalam konteks kebudayaan penerima Injil. Masih menurut Tomatala bahwasanya ada trialektis yang harus dijaga keseimbangannya agar pesan pewartaan menjadi efektif yaitu: konteks pemberita Injil, konteks Injil yang diberitakan (Hebraic-Helenistic) dan konteks pendengar atau penerima Injil (Ibid.,hal 3). Tanpa pemahaman yang benar tentang budaya setempat dan pengetahuan mengomunikasikan Injil agar aktual dan relevan, maka yang terjadi adalah menjadikan seseorang menjadi pengikut Yesus Sang Mesias namun yang tercerabut dari kebudayaannya dan menjadi pengikut budaya darimana pemberita mewartakan Injilnya.

Demikian pula dengan visi Back to Hebraic Root (kembali ke akar Ibrani) yang dipioniri oleh kalangan Messianic Judaism di Eropa yang telah merambah sampai ke Asia termasuk Indonesia dengan sebuah pesan kepada gereja-gereja untuk memahami sabda Yesus dan tulisan rasul-rasul dalam kultur semitik yudaik, masih kerap dipahami tanpa sebuah pengetahuan yang utuh oleh komunitas Kristen di Indonesia, sehingga yang terjadi dan terbaca oleh kekristenan arus utama bahwa komunitas Kristen yang  memiliki visi Back to Hebraic Root terkesan berusaha menyahudikan orang Kristen dengan simbol-simbol Yudaisme dan Yahudi seperti penggunaan tallit berwarna putih biru, penggunaan kipah, penggunaan shofar, memasukkan adat istiadat Yahudi dalam prosesi pernikahan Kristiani dll.

Cara pandang Yunani, Haruskah Dibuang?

Kontribusi Messianic Judaism terhadap Kekristenan saat ini adalah menyadarkan kita untuk menafsirkan sabda Yesus dan teks Perjanjian Baru dengan melibatkan “Hebraic Mindset” (cara pandang Ibrani). Tim Hegg menjelaskan perihal “Hebraic Mindset” sbb: “Berpikir secara Ibrani berarti berpikir sebagaimana orang Ibrani berpikir pada zaman lampau. Mengapa hal ini demikian penting? Karena sebagain besar isi Kitab Suci, dituliskan oleh orang-orang Ibrani. Sebenarnya, hanya Lukas dari keseluruhan penulis Kitab Suci yang bukan seorang Yahudi berdasarkan kelahirannya (setidaknya menurut pendapat sarjana modern). Agar kita dapat memahami yaitu cara berbicara, mengenai kata-kata yang dipergunakan serta pentingnya persoalan-persoalan kehidupan yang digambarkan oleh seseorang dalam kebudayaan Ibrani, maka kita harus memahami dengan istilah umum, mengenai bagaimana orang Ibrani berpikir, bagaimana mereka melihat kehidupan - pandangan dunia yang mereka miliki” (Interpreting the Bible: An Introduction to Hermeneutics, Distance Learning Yeshiva, 2000, p. 20).

Namun demikian apalah lantas kita membuang “Helenistic Mindset?” (cara pandang Yunani)? Saya tidak sependapat bahwa cara pandang Yunani dibuang begitu saja. Yang harus dibuang adalah paradigma dan kecenderungan untuk menggunakan cara pandang Helenis (Yunani) untuk memahami pikiran Kitab Suci yang ditulis oleh orang Ibrani dengan struktur khas Ibrani, karena jika paradigma ini tetap dilestarikan maka akan semakin mendistorsi pemahaman kita terhadap sejumlah teks dan peristiwa historis dalam Kitab Suci. Kita cukup mengetahui cara pandang Yunani itu apa (sebaik kita mengetahui cara pandang suatu kebudayaan yang menjadi latar belakang kita) dan mencari celah untuk mewartakan Kabar Baik itu dalam bingkai apapun termasuk kebudayaan Yunani (termasuk kebudayaan Indonesia) tanpa menghilangkan essensi dan akar berita yang kita bawa. Karena Rasul Paul telah memberikan teladan, bagaimana dia mempelajari sastra dan filsafat Yunani sehingga dalam beberapa suratnya dia mengutip tulisan-tulisan filsuf Yunani untuk menemukan celah mewartakan Kabar Baik.

1.      Mengutip Sajak Epimenides: αγνωστω θεω (Agnostho Theo, Kis 17:23)

2.      Mengutip Sajak Aratus/Cleanthes: του γαρ και γενος εσμεν (Tou gar kai henos esmen,Kis 17:28)

3.      Mengutip Sajak Menander: φθειρουσιν ηθη χρηστα χρησθ ομιλιαι κακαι (Phtheirousin hethe chresth homiliai kakai, 1 Kor 15:33)

4.      Mengutip Sajak Epimenides dari Kreta: κρητες αει ψευσται κακα θηρια γαστερες αργαι (Kretes aei pseustai kaka theria gasteres argai, Tit 1:12)

Grebheg Sukot Sebagai Model Akulturasi

Berangkat dari pemahaman perihal pentingnya mewartakan Injil dalam konteks budaya sebagaimana telah diteladankan Rasul Paul (Kis 17:16-34), maka sejak tahun 2008 melalui wadah organisasi non formal Forum Studi Mesianika (FSM) yang kemudian pada tahun 2012 berganti menjadi Indonesian Judeochristianity Institute (IJI) untuk menampung pokok-pokok ajaran yang saya namai Mazhab Yudeo Kristen, maka saya memulai sebuah tradisi baru saat merayakan salah satu sari tujuh perayaan yaitu Sukot atau Pondok Daun dengan mewajibkan setiap anggota yang turut beribadah bersama untuk membawa buah-buahan beraneka jenis dan ditaruh pada satu meja untuk kemudian saat berakhir ibadah dimakan bersama-sama dengan sukacita.

Tradisi membawa buah dan memakannya bersama-sama saya beri nama “Grebheg Sukot” dengan mengadaptasi kultur Yahudi dan kultur Jawa. Grebheg adalah hasil akulturasi para wali dan raja Jawa Islam yang dimulai sejak pemerintahan Demak terhadap sejumlah perayaan perayaan keagamaan Islam yaitu Iedul Fitri (Grebheg Syawal), Iedul Adha (Grebheg Besar), kelahiran Muhamad (Grebheg Mulud). Sementara Sukkot dengan pernak pernik membangun rumah-rumahan dari kayu yang di hiasai dengan buah-buahan hasil panen diadaptasi dari penganut Orthodox Judaism maupun Messianic Judaism atau Messianic Jewish. Kedua ekspresi kebudayaan ini yaitu “grebheg” dan “buah-buahan” dijadikan budaya baru dengan nama “Grebheg Sukkot” sebagai simbolisasi hal-hal berikut: (1) Ucapan syukur pada Tuhan yang telah mengaruniakan Hari Raya Sukot (2) Mengingatkan kita agar sebagai pengikut Yesus Anak Tuhan dan Mesias agar menghasilkan buah-buah berupa pemikiran dan perilaku yang manis dan bermanfaat bagi banyak orang (3) Simbolisasi pertemuan dua kebudayaan untuk memuliakan Tuhan YHWH yang telah mengaruniakan Yahshua Putra-Nya dengan “berkemah” diantara umat manusia dan menyelamatkan manusia dari kutuk dosa.

Kiranya tradisi “Grebheg Sukot” yang dipopulerkan melalui pengajaran Mazhab Yudeo Kristen tetap dapat diteruskan dan dilestarikan bukan hanya menjadi bagian dari penghayatan perayaan yang ditetapkan Tuhan melainkan menjadi perayaan pertemuan kebudayaan untuk mewartakan sukacita dibalik perayaan Pondok Daun (sukot).

No comments:

Post a Comment