Sindrom Stockholm adalah respon
psikologis dimana dalam kasus-kasus tertentu para sandera penculikan
menunjukkan tanda-tanda kesetiaan kepada penyanderanya tanpa memperdulikan
bahaya atau risiko yang telah dialami oleh sandera itu. Sindrom ini dinamai
berdasarkan kejadian perampokan Sveriges Credit Bank di Stockholm pada tahun
1973. Perampok bank tersebut, Jan-Erik Olsson dan Clark Olofsson, memiliki
senjata dan menyandera karyawan bank dari 23 Agustus sampai 28 Agustus pada
tahun 1973. Ketika akhirnya korban dapat dibebaskan, reaksi mereka malah
memeluk dan mencium para perampok yang telah menyandera mereka. Mereka secara
emosional menjadi menyayangi penyandera, bahkan membela mereka. Sandera yang
bernama Kristin bahkan jatuh cinta dengan salah satu perampok dan membatalkan
pertunangan dengan pacarnya setelah dibebaskan.
Istilah sindrom Stockholm pertama kali dicetuskan oleh kriminolog dan psikiater Nils Bejerot, yang membantu polisi saat perampokan. Hal yang sama terjadi dalam dunia spiritual. Ada banyak orang telah terbiasa melakukan begitu banyak tindakan kejahatan namun mereka tidak merasa bahwa apa yang telah dikerjakannya adalah sebuah kejahatan yang bersumber dari hasutan Satan dan hawa nafsu yang masih berkuasa di dalam jiwa orang tersebut. Bukankah Satan adalah “Bapa Pendusta” dan “Pembunuh sejak semula” (Yoh 8:44)? Namun begitu banyak orang mencintai perbuatan-perbuatan Satan dan bukan membenci serta menjauhinya, mulai dari korupsi, suap, menipu, mencuri, merampok, membunuh, tidak perduli agama, fundamentalisme agama yang menafikkan eksistensi orang yang berbeda agama, hedonisme, keterlibatan pada obat-obatan terlarang, bisnis haram dll.
Hanya
ketika seseorang terbebaskan dari kesadaran palsu yang menutupi hati dan
pikirannya untuk mengetahui siapa musuh sejati dalam hidup mereka, maka mereka
akan menikmati kebebasan sejati dan menjalani kehidupan dengan wajar. Tanpa
intervensi Ilahi, kebebasan sejati tidak dapat dialami. Yesus Sang Mesias
bersabda, “Jadi apabila Anak itu
memerdekakan kamu, kamu pun benar-benar merdeka” (Yoh 8:36). Tinggalah
dalam sabda Yesus maka kita akan terus menerus mengetahui apa yang benar dan
apa yang salah dan pengetahuan itu akan memerdekakan kita bukan hanya dari
pemahaman yang keliru melainkan dari tindakan yang keliru serta menjauhi musuh
sejati kita yaitu Satan dan keinginan daging alias hawa nafsu kita.
No comments:
Post a Comment